Saat menjelajahi kota Medan, kita akan melihat banyak bangunan-bangunan bersejarah masih tegak berdiri. Walau sebagian bangunan telah mengalami perubahan mengikuti peruntukan dan selera zaman, namun ada juga beberapa bangunan yang masih terjaga keasliannya, bagai tak terjamah waktu.
Yang menarik adalah bangunan-bangunan bersejarah ini terdokumentasi dengan baik dikisaran tahun 1930an, ketika kota Medan masih dalam kekuasaan Hindia Belanda. Foto-foto bersejarah tersebut memberikan gambaran tentang kondisi bangunan dan lingkungan sekitar pada masa itu. Jalanan masih lengang, kereta kuda dan sepeda bersiliweran. Mobil-mobil antik (dulunya modern) lalu lalang, ada juga yang terparkir dengan angkuh.
Kali ini kita akan melihat kota Medan dalam perspektif yang sama di waktu yang berbeda. Dengan objek dan sudut pengambilan gambar yang sama, kita akan melihat bagaimana perubahan gedung-gedung yang difoto pada tahun 1930 akan terlihat bedanya ketika dijepret kembali pada 2015, setelah 85 tahun berlalu.
1. Jalan Ahmad Yani Medan
Dulunya bernama Jalan Kesawan, merupakan pusat perdagangan kota Medan sejak dahulu kala. Di tahun 1930 telah berdiri banyak kantor-kantor pemerintahan, bank dan usaha-usaha dagang. Kini Jalan Kesawan telah berubah menjadi Jalan Ahmad Yani, walau berubah nama, fungsi gedung di sekitarnya tetap sama, sebagai perkantoran dan Bank. Beberapa tahun yang lalu sepanjang Jalan Ahmad Yani setiap malam digelar pusat jajanan kota medan, Kesawan Square. Sampai saat ini masih banyak gedung bersejarah yang berdiri di sepanjang jalan Ahmad Yani. Pemko Medan juga menetapkannya sebagai kawasan cagar Budaya kota Medan.
2. Restoran Tip Top
Terletak di Jalan Ahmad Yani, Restoran Tip Top merupakan salah satu ikon sejarah kota Medan. Berdiri pada tahun 1929, awalnya Restoran ini terletak di Jalan Pandu dengan nama Restoran Jangkie. Pada 1934 Restoran ini pindah ke Kawasan Kesawan dan berganti nama menjadi Restoran Tip Top, merupakan idiom dari bahasa Inggris yang berarti 'sempurna'. Pada masa pendudukan Jepang Restoran ini diperintahkan untuk berganti nama dengan alasan nama Tip Top kebarat-baratan, dan kembali bernama Restoran Jangkie. Tapi setelah Jepang angkat kaki, nama Tip Top kembali digunakan.
Di tahun 2015, Restoran Tip Top tak banyak berubah. Pemiliknya sengaja mempertahankan gaya Restoran ini seperti aslinya. Dari Menu yang khas, kursi dan meja rotan sampai para pelayan yang berpeci masih seperti dulu. Bila ke Medan, mampirlah dan rasakan suasana Medan tempo dulu disini.
3. Gedung Balai Kota dan Bank Indonesia
Sebagai pusat pemerintahan kota Medan, Gedung Balai Kota terletak di pusat Kota Medan, berhadapan langsung dengan Lapangan Merdeka.
Gedung ini dibangun pada 1900 oleh pemerintah Hindia Belanda. Bergaya Eropa klasik, gedung ini didominasi warna putih. Dulunya gedung balai kota ini dimanfaatkan sebagai gedung pertemuan para petinggi Belanda yang ada di Medan. Namun setelah Indonesia merdeka, gedung menjadi tak terawat, bahkan pada masa penjajahan Jepang, bangunan tua ini sempat akan dihancurkan.
Kini gedung ini tetap lestari dan difungsikan menjadi semacam museum kecil dan disekelilingnya telah berdiri bangunan megah, Grand Aston City Hall.
Sementara disebelahnya berdiri Gedung Bank Indonesia, terdapat penambahan sayap pada gedung. Dari dulu hingga kini gedung ini tetap berfungsi sebagai Bank (dulunya bernama Javasche Bank).
4. Gedung Kantor Pos
Melihat bentuk fisiknya, hampir tak ada yang berubah dari gedung ini. Waktu seakan berhenti disini.Yang berubah hanyalah air mancur dan mahluk-mahluk kota yang beraktivitas didepannya.
Terletak di sebelah utara Esplanade (Bahasa Belanda yang berarti Lapangan Terbuka), Lapangan Merdeka sekarang. Dibangun pada Tahun 1911. Sama halnya dengan Gedung Balai Kota dan Gedung Bank, Gedung Kantor Pos sejak pertama kali didirikan memiliki fungsi yang sama seperti saat ini, yakni sebagai Kantor Pos Besar Kota Medan.
Air mancur didepan Gedung telah dipugar oleh Pemko Medan pada tahun 2000, lantai kolam yang sebelumnya berbahan granit kini telah diganti menjadi keramik. Patut disayangkan memang, karena air mancur tersebut merupakan satu kesatuan dengan Gedung Kantor Pos.
5. Titi Gantung Medan
Perjalanan kita berhenti disini, di tempat nongkrong anak muda generasi 1930an. Pada zaman kolonial, tempat ini memang menjadi spot favorit menikmati senja bagi warga dan Orang-orang Belanda yang tinggal di Medan.
Dibangun pada 1885, Terletak bersebelahan dengan Stasiun Kereta Api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), jembatan ini merupakan jalan penghubung antara kawasan perumahan penduduk dengan Lapangan Merdeka. Dibawah jembatan ini terdapat banyak rel kereta api. Dulu warga beramai-ramai datang ke Lapangan Merdeka yang sering mengadakan acara. Karena alasan inilah dibangun jembatan agar warga yang ingin menuju lapangan merdeka dapat menyeberang dengan aman.
Mulai tahun 1940an, area Titi Gantung identik dengan Pusat penjualan Buku Bekas. Warga Medan sampai punya istilah "Ingat buku bekas pasti ingat Titi Gantung."
Namun akibat perkembangan pembangunan kota Medan, kawasan penjual buku bekas yang berusia lebih dari 75 tahun disekitar Titi Gantung telah digusur dan dipindahkan ke Jalan Pegadaian. Satu lagi ikon Medan menghilang akibat perkembangan zaman. Banyak penolakan, baik dari pedagang maupun dari masyarakat. Tapi apa daya, pembangunan memang "harus ada pengorbanan", kalau tidak boleh disebut "harus ada yang dikorbankan".
Yang menarik adalah bangunan-bangunan bersejarah ini terdokumentasi dengan baik dikisaran tahun 1930an, ketika kota Medan masih dalam kekuasaan Hindia Belanda. Foto-foto bersejarah tersebut memberikan gambaran tentang kondisi bangunan dan lingkungan sekitar pada masa itu. Jalanan masih lengang, kereta kuda dan sepeda bersiliweran. Mobil-mobil antik (dulunya modern) lalu lalang, ada juga yang terparkir dengan angkuh.
1. Jalan Ahmad Yani Medan
Dulunya bernama Jalan Kesawan, merupakan pusat perdagangan kota Medan sejak dahulu kala. Di tahun 1930 telah berdiri banyak kantor-kantor pemerintahan, bank dan usaha-usaha dagang. Kini Jalan Kesawan telah berubah menjadi Jalan Ahmad Yani, walau berubah nama, fungsi gedung di sekitarnya tetap sama, sebagai perkantoran dan Bank. Beberapa tahun yang lalu sepanjang Jalan Ahmad Yani setiap malam digelar pusat jajanan kota medan, Kesawan Square. Sampai saat ini masih banyak gedung bersejarah yang berdiri di sepanjang jalan Ahmad Yani. Pemko Medan juga menetapkannya sebagai kawasan cagar Budaya kota Medan.
2. Restoran Tip Top
Terletak di Jalan Ahmad Yani, Restoran Tip Top merupakan salah satu ikon sejarah kota Medan. Berdiri pada tahun 1929, awalnya Restoran ini terletak di Jalan Pandu dengan nama Restoran Jangkie. Pada 1934 Restoran ini pindah ke Kawasan Kesawan dan berganti nama menjadi Restoran Tip Top, merupakan idiom dari bahasa Inggris yang berarti 'sempurna'. Pada masa pendudukan Jepang Restoran ini diperintahkan untuk berganti nama dengan alasan nama Tip Top kebarat-baratan, dan kembali bernama Restoran Jangkie. Tapi setelah Jepang angkat kaki, nama Tip Top kembali digunakan.
Di tahun 2015, Restoran Tip Top tak banyak berubah. Pemiliknya sengaja mempertahankan gaya Restoran ini seperti aslinya. Dari Menu yang khas, kursi dan meja rotan sampai para pelayan yang berpeci masih seperti dulu. Bila ke Medan, mampirlah dan rasakan suasana Medan tempo dulu disini.
3. Gedung Balai Kota dan Bank Indonesia
Sebagai pusat pemerintahan kota Medan, Gedung Balai Kota terletak di pusat Kota Medan, berhadapan langsung dengan Lapangan Merdeka.
Gedung ini dibangun pada 1900 oleh pemerintah Hindia Belanda. Bergaya Eropa klasik, gedung ini didominasi warna putih. Dulunya gedung balai kota ini dimanfaatkan sebagai gedung pertemuan para petinggi Belanda yang ada di Medan. Namun setelah Indonesia merdeka, gedung menjadi tak terawat, bahkan pada masa penjajahan Jepang, bangunan tua ini sempat akan dihancurkan.
Kini gedung ini tetap lestari dan difungsikan menjadi semacam museum kecil dan disekelilingnya telah berdiri bangunan megah, Grand Aston City Hall.
Sementara disebelahnya berdiri Gedung Bank Indonesia, terdapat penambahan sayap pada gedung. Dari dulu hingga kini gedung ini tetap berfungsi sebagai Bank (dulunya bernama Javasche Bank).
4. Gedung Kantor Pos
Melihat bentuk fisiknya, hampir tak ada yang berubah dari gedung ini. Waktu seakan berhenti disini.Yang berubah hanyalah air mancur dan mahluk-mahluk kota yang beraktivitas didepannya.
Terletak di sebelah utara Esplanade (Bahasa Belanda yang berarti Lapangan Terbuka), Lapangan Merdeka sekarang. Dibangun pada Tahun 1911. Sama halnya dengan Gedung Balai Kota dan Gedung Bank, Gedung Kantor Pos sejak pertama kali didirikan memiliki fungsi yang sama seperti saat ini, yakni sebagai Kantor Pos Besar Kota Medan.
Air mancur didepan Gedung telah dipugar oleh Pemko Medan pada tahun 2000, lantai kolam yang sebelumnya berbahan granit kini telah diganti menjadi keramik. Patut disayangkan memang, karena air mancur tersebut merupakan satu kesatuan dengan Gedung Kantor Pos.
5. Titi Gantung Medan
Perjalanan kita berhenti disini, di tempat nongkrong anak muda generasi 1930an. Pada zaman kolonial, tempat ini memang menjadi spot favorit menikmati senja bagi warga dan Orang-orang Belanda yang tinggal di Medan.
Dibangun pada 1885, Terletak bersebelahan dengan Stasiun Kereta Api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), jembatan ini merupakan jalan penghubung antara kawasan perumahan penduduk dengan Lapangan Merdeka. Dibawah jembatan ini terdapat banyak rel kereta api. Dulu warga beramai-ramai datang ke Lapangan Merdeka yang sering mengadakan acara. Karena alasan inilah dibangun jembatan agar warga yang ingin menuju lapangan merdeka dapat menyeberang dengan aman.
Mulai tahun 1940an, area Titi Gantung identik dengan Pusat penjualan Buku Bekas. Warga Medan sampai punya istilah "Ingat buku bekas pasti ingat Titi Gantung."
Namun akibat perkembangan pembangunan kota Medan, kawasan penjual buku bekas yang berusia lebih dari 75 tahun disekitar Titi Gantung telah digusur dan dipindahkan ke Jalan Pegadaian. Satu lagi ikon Medan menghilang akibat perkembangan zaman. Banyak penolakan, baik dari pedagang maupun dari masyarakat. Tapi apa daya, pembangunan memang "harus ada pengorbanan", kalau tidak boleh disebut "harus ada yang dikorbankan".