Tipsiana.com - KPK resmi menahan mantan menteri kesehatan Republik Indonesia 2004-2009, Siti Fadilah Supari, Senin, 24 Oktober 2016. Siti ditahan karena tersangkut kasus pengadaan alat kesehatan yang telah lama (bahkan sangat lama) mencuat. Publik Indonesia pun terkejut.
Sosok Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan di era pemerintahan Presiden SBY sangat lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia. Ia terkenal lembut pada masyarakat dengan gaya bicara khas namun tegas dalam menjalankan tugas.
Siti pernah membuat geger dunia internasional karena berani melakukan perlawanan terhadap WHO dan perusahaan pembuat vaksin internasional terkait penolakannya menyerahkan strain virus H5N1 dari Indonesia. Ia tak sudi virus tersebut dijadikan ajang mencari untung negara-negara pembuat vaksin, sementara negara tempat asal virus tak mendapatkan apa-apa selain menjadi pasar penjualan vaksin.
Nukman Luthfi pada tahun 2008 pernah menulis kekagumannya akan perjuangan pantang menyerah Siti Fadilah Supari melawan arogansi lembaga kesehatan dunia WHO. Berikut petikan tulisannya;
Senyumnya ramah. Bicaranya lembut. Namun, jangan kaget kalau ia bisa berapi-api ketika berbicara mengenai kesewenang-wenangan dan penindasan negara kaya, lembaga internasional, serta kapitalis vaksin terhadap negara miskin. Dialah DR.Dr.Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), Menteri Kesehatan RI, yang kini sedang menjadi sorotan dunia karena gebrakannya dalam melawan dominasi WHO(World Health Organization) dan Barat (Amerika Serikat).
Ceritanya bermula dari paksaan WHO terhadap Indonesia agar mengirimkan virus flu burung H5N1 strain Indonesia yang melanda negeri ini dua tahun lalu ke WHO Collaborating Center (CC) untuk dilakukanrisk assesement, diagnosis, dan kemudian dibuatkan seed virus. Entah bagaimana caranya, virus asal Indonesia itu berpindah tangan ke Medimmune dan diolah menjadiseed virus. Hebatnya, seed virus ini diakui sebagai miliknya karena diolah dengan teknologi yang sudah mereka patenkan. Indonesia, yang memiliki virusnya tidak punya hak apa-apa. Padahal, dengan seed virus inilah perusahaan swasta itu membuat vaksin yang dijual ke seluruh dunia dengan harga mahal.
Bagi Siti Fadilah, hal ini aneh. Yang memiliki teknologi mendapatkan hak amat banyak. Sebaliknya, yang memiliki virus tidak dapat apa-apa. “Sehebat apapun teknologi Medimmune, jika ditempelkan di jidatnya kan tidak akan menghasilkan seed virus H5N1strain Indonesia,” kata lulusan kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga lulus program doktor di Universitas Indonesia itu dalam bukunya yang berjudul Saatnya Dunia Berubah – Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Apa yang terjadi di Indonesia ternyata juga dialami negara miskin lain. Negara yang terjangkit penyakit, dipaksa mengirimkan virusnya ke WHO CC melalui skema GISN (Global Influenza Surveilance Network). Namun bukannya dimanfaatkan untuk kesehatan seluruh dunia, virus itu malah disalahgunakan oleh negara kaya untuk membuat komoditas dagang, antara lain dalam bentuk vaksin. Bahkan ada kemungkinan dijadikan senjata biologis. Celakanya, negara miskin sering kesulitan mendapatkan vaksin tersebut karena sudah diborong negara lain yang belum terkena virus tersebut untuk pencegahan.
Kalau posisinya seperti itu, Siti Fadilah berpraduga, negara kaya akan berusaha menciptakan virus baru untuk dilemparkan ke negara miskin. Kemudian negara miskin mengirim virus baru tersebut ke WHO. Dan selanjutnya WHO akan mengirim virus ke negara kaya untuk dibuatkan vaksinnya. Dus, negara kaya pun memiliki komoditas dagang virus baru.
“Siklus itu akan berputar seumur hidup,” kata spesialis jantung dan pembuluh darah ini. Negara miskin akan sakit terus, sakit dan sakit. Siklus yang tak berujung ini bak lingkaran setan. Celakanya, ketika negara miskin makin terpuruk gara-gara virus, negara kaya datang bak dewa penolong dengan memberikan sumbangan yang tidak seberapa dibanding keuntungan mereka dari berdagang vaksin.
Siti Fadilah melihat ketidakadilan itu — yang ternyata sudah berlangsung selama 60 (enam puluh) tahun dilakukan oleh WHO. Tergeraklah nuraninya. Ia sadar, dirinya hanyalah seorang Menteri Kesehatan dari negara bukan super power. Namun, ia berpikir dan bergerak cepat. Nalurinya mengatakan, kalau bahwa pemaksaan pengiriman virus ke WHO adalah salah satu kunci lingkaran setan. Maka kalau ia enggan mengirimkan virus itu, dunia akan bereaksi. Intuisinya benar. Dunia bereaksi. Negara barat — terutama pemerintah dari negara penghasil vaksin — geger. Mereka takut virus tersebut menyebar ke seluruh dunia dan terjadi pandemi.
Dari sinilah perang Siti Fadilah terhadap penindasan WHO dan negara kaya dimulai. Ia membuka borok WHO dalam mengelola lalulintas virus dunia. Perang ini amat menggetarkan, seru dan melelahkan. Maklum, yang dilawan adalah lembaga dunia yang didukung penuh oleh negara kaya dan berkuasa, yang bisa berbuat apa saja. Pertempuran itu tergambar begitu bagus di bukunya. Saya terpukau membaca halaman per halaman. Saya tak mau berhenti sejenak pun. Terbayang betapa gigihnya Siti Fadilah dan timnya berjuang di kancah internasional. Pengagum Bung Karno ini tak mengenal kata mundur. Ia tanpa lelah melobi negara-negara lain untuk mendukungnya. Setiap anak buahnya mengabarkan bahwa posisinya terjepit di tengah negosiasi dan kemungkinan besar kalah, ia selalu mengatakan: tidak ada kompromi. Aturan pengiriman virus ke WHO yang tidak transparan harus dihapus.
Perjuangannya berhasil. Ia mampu memaksa WHO berubah. Ia berhasil menghancurkan lingkaran setan pervaksinan dunia. Kini aturan mainnya lebih adil, transparan dan setara.
Adil artinya negara miskin yang mendapat penyakit flu burung mendapatkan hak atas virus yang dimilikinya. Jika virus itu dibuat vaksin, maka negara korban akan mendapat haknya atas vaksin sesuai aturan.
Transparan artinya negara yang menderita maupun negara lain mengetahui pasti kemana virus itu perginya, diapakan oleh siapa, dan yakin bahwa virus itu tidak digunakan untik senjata biologis.
Setara artinya antara pengirim virus dan pembuat vaksin setara, selevel.
Tak terasa, buku setebal 200 halaman yang diluncurkan 6 Januari 2008 lalu itu saya khatamkan dalam tempo empat jam.
Dari sinilah saya mulai bangga memiliki seorang menteri bernama Siti Fadilah. Ia bukan hanya menteri. Ia juga ilmuwan yang sudah menghasilkan 150-an karya ilmiah dan meraih berbagai penghargaan (antara lain:Best Young Investigator Award pada Kongres Kardiologi di Manila, Filipina, 1998. T. Best Young Investigator Award pada Konferensi Ilmiah tentang “Omega 3” di Texas, Amerika Serikat, 1994. Serta Antony Mason Award dari University New South Wales, Sidney, Australia).
Namun, lebih dari itu, dalam kasus melawan WHO dan AS, ia menujukkan diri sebagai seorang negosiator tangguh dan “diplomat” ulung yang mengangkat harkat bangsa Indonesia di kancah dunia.
Jangankan saya, pihak luar pun sangat bangga dengannya. Dengarlah apa kata majalah top dunia seperti The Economist (6 Agustus 2006):
“For the sake of basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed by anyone. With those words, spoken on August 3rd (2006), Siti Fadilah Sapari started a revolution that could yet save the world from the ravages of pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency.”
Namun puteri Solo kelahiran 6 Nopember ini sadar, perjuangan belum selesai. “Saya sedang membuat buku kedua,” katanya kepada saya setelah acara talkshow di SmartFM Jakarta Jumat lalu (2 Mei 2008).
Sosok Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan di era pemerintahan Presiden SBY sangat lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia. Ia terkenal lembut pada masyarakat dengan gaya bicara khas namun tegas dalam menjalankan tugas.
Siti pernah membuat geger dunia internasional karena berani melakukan perlawanan terhadap WHO dan perusahaan pembuat vaksin internasional terkait penolakannya menyerahkan strain virus H5N1 dari Indonesia. Ia tak sudi virus tersebut dijadikan ajang mencari untung negara-negara pembuat vaksin, sementara negara tempat asal virus tak mendapatkan apa-apa selain menjadi pasar penjualan vaksin.
Nukman Luthfi pada tahun 2008 pernah menulis kekagumannya akan perjuangan pantang menyerah Siti Fadilah Supari melawan arogansi lembaga kesehatan dunia WHO. Berikut petikan tulisannya;
Senyumnya ramah. Bicaranya lembut. Namun, jangan kaget kalau ia bisa berapi-api ketika berbicara mengenai kesewenang-wenangan dan penindasan negara kaya, lembaga internasional, serta kapitalis vaksin terhadap negara miskin. Dialah DR.Dr.Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), Menteri Kesehatan RI, yang kini sedang menjadi sorotan dunia karena gebrakannya dalam melawan dominasi WHO(World Health Organization) dan Barat (Amerika Serikat).
Ceritanya bermula dari paksaan WHO terhadap Indonesia agar mengirimkan virus flu burung H5N1 strain Indonesia yang melanda negeri ini dua tahun lalu ke WHO Collaborating Center (CC) untuk dilakukanrisk assesement, diagnosis, dan kemudian dibuatkan seed virus. Entah bagaimana caranya, virus asal Indonesia itu berpindah tangan ke Medimmune dan diolah menjadiseed virus. Hebatnya, seed virus ini diakui sebagai miliknya karena diolah dengan teknologi yang sudah mereka patenkan. Indonesia, yang memiliki virusnya tidak punya hak apa-apa. Padahal, dengan seed virus inilah perusahaan swasta itu membuat vaksin yang dijual ke seluruh dunia dengan harga mahal.
Bagi Siti Fadilah, hal ini aneh. Yang memiliki teknologi mendapatkan hak amat banyak. Sebaliknya, yang memiliki virus tidak dapat apa-apa. “Sehebat apapun teknologi Medimmune, jika ditempelkan di jidatnya kan tidak akan menghasilkan seed virus H5N1strain Indonesia,” kata lulusan kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga lulus program doktor di Universitas Indonesia itu dalam bukunya yang berjudul Saatnya Dunia Berubah – Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Apa yang terjadi di Indonesia ternyata juga dialami negara miskin lain. Negara yang terjangkit penyakit, dipaksa mengirimkan virusnya ke WHO CC melalui skema GISN (Global Influenza Surveilance Network). Namun bukannya dimanfaatkan untuk kesehatan seluruh dunia, virus itu malah disalahgunakan oleh negara kaya untuk membuat komoditas dagang, antara lain dalam bentuk vaksin. Bahkan ada kemungkinan dijadikan senjata biologis. Celakanya, negara miskin sering kesulitan mendapatkan vaksin tersebut karena sudah diborong negara lain yang belum terkena virus tersebut untuk pencegahan.
Kalau posisinya seperti itu, Siti Fadilah berpraduga, negara kaya akan berusaha menciptakan virus baru untuk dilemparkan ke negara miskin. Kemudian negara miskin mengirim virus baru tersebut ke WHO. Dan selanjutnya WHO akan mengirim virus ke negara kaya untuk dibuatkan vaksinnya. Dus, negara kaya pun memiliki komoditas dagang virus baru.
“Siklus itu akan berputar seumur hidup,” kata spesialis jantung dan pembuluh darah ini. Negara miskin akan sakit terus, sakit dan sakit. Siklus yang tak berujung ini bak lingkaran setan. Celakanya, ketika negara miskin makin terpuruk gara-gara virus, negara kaya datang bak dewa penolong dengan memberikan sumbangan yang tidak seberapa dibanding keuntungan mereka dari berdagang vaksin.
Siti Fadilah melihat ketidakadilan itu — yang ternyata sudah berlangsung selama 60 (enam puluh) tahun dilakukan oleh WHO. Tergeraklah nuraninya. Ia sadar, dirinya hanyalah seorang Menteri Kesehatan dari negara bukan super power. Namun, ia berpikir dan bergerak cepat. Nalurinya mengatakan, kalau bahwa pemaksaan pengiriman virus ke WHO adalah salah satu kunci lingkaran setan. Maka kalau ia enggan mengirimkan virus itu, dunia akan bereaksi. Intuisinya benar. Dunia bereaksi. Negara barat — terutama pemerintah dari negara penghasil vaksin — geger. Mereka takut virus tersebut menyebar ke seluruh dunia dan terjadi pandemi.
Dari sinilah perang Siti Fadilah terhadap penindasan WHO dan negara kaya dimulai. Ia membuka borok WHO dalam mengelola lalulintas virus dunia. Perang ini amat menggetarkan, seru dan melelahkan. Maklum, yang dilawan adalah lembaga dunia yang didukung penuh oleh negara kaya dan berkuasa, yang bisa berbuat apa saja. Pertempuran itu tergambar begitu bagus di bukunya. Saya terpukau membaca halaman per halaman. Saya tak mau berhenti sejenak pun. Terbayang betapa gigihnya Siti Fadilah dan timnya berjuang di kancah internasional. Pengagum Bung Karno ini tak mengenal kata mundur. Ia tanpa lelah melobi negara-negara lain untuk mendukungnya. Setiap anak buahnya mengabarkan bahwa posisinya terjepit di tengah negosiasi dan kemungkinan besar kalah, ia selalu mengatakan: tidak ada kompromi. Aturan pengiriman virus ke WHO yang tidak transparan harus dihapus.
Perjuangannya berhasil. Ia mampu memaksa WHO berubah. Ia berhasil menghancurkan lingkaran setan pervaksinan dunia. Kini aturan mainnya lebih adil, transparan dan setara.
Adil artinya negara miskin yang mendapat penyakit flu burung mendapatkan hak atas virus yang dimilikinya. Jika virus itu dibuat vaksin, maka negara korban akan mendapat haknya atas vaksin sesuai aturan.
Transparan artinya negara yang menderita maupun negara lain mengetahui pasti kemana virus itu perginya, diapakan oleh siapa, dan yakin bahwa virus itu tidak digunakan untik senjata biologis.
Setara artinya antara pengirim virus dan pembuat vaksin setara, selevel.
Tak terasa, buku setebal 200 halaman yang diluncurkan 6 Januari 2008 lalu itu saya khatamkan dalam tempo empat jam.
Dari sinilah saya mulai bangga memiliki seorang menteri bernama Siti Fadilah. Ia bukan hanya menteri. Ia juga ilmuwan yang sudah menghasilkan 150-an karya ilmiah dan meraih berbagai penghargaan (antara lain:Best Young Investigator Award pada Kongres Kardiologi di Manila, Filipina, 1998. T. Best Young Investigator Award pada Konferensi Ilmiah tentang “Omega 3” di Texas, Amerika Serikat, 1994. Serta Antony Mason Award dari University New South Wales, Sidney, Australia).
Namun, lebih dari itu, dalam kasus melawan WHO dan AS, ia menujukkan diri sebagai seorang negosiator tangguh dan “diplomat” ulung yang mengangkat harkat bangsa Indonesia di kancah dunia.
Jangankan saya, pihak luar pun sangat bangga dengannya. Dengarlah apa kata majalah top dunia seperti The Economist (6 Agustus 2006):
“For the sake of basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed by anyone. With those words, spoken on August 3rd (2006), Siti Fadilah Sapari started a revolution that could yet save the world from the ravages of pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency.”
Namun puteri Solo kelahiran 6 Nopember ini sadar, perjuangan belum selesai. “Saya sedang membuat buku kedua,” katanya kepada saya setelah acara talkshow di SmartFM Jakarta Jumat lalu (2 Mei 2008).
Kini, Siti telah menjadi tahanan KPK. Publik dibuat bertanya-tanya, mengapa setelah sekian lama kasus ini menggantung, tiba-tiba kembali mencuat ke permukaan. Benarkah Siti Fadilah Supari bersalah, atau apakah ini hanyalah permainan politik menjelang pemilihan kepala daerah untuk menghancurkan citra seseorang? atau, ini adalah sebuah balas dendam dari pihak yang pernah dikalahkannya? Waktu yang akan menjawab.
Sumber : http://www.sudutpandang.com/2008/05/siti-fadilah-sapari-menghancurkan-lingkaran-setan-dunia/