Segera setelah Khalifah Umar Ibnu Khattab dilantik menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, tindakan pertama yang ia lakukan adalah menyusun konsep mencegah korupsi di kalangan aparat negara. Khalifah yang dikenal sangat tegas dan keras dalam masalah hukum Islam ini, malaksanakan konsepnya dengan rasa keadilan, berani dan tidak pandang bulu.
Kepada para pembesar negara, sipil atau militer, yang kaya dan penuh kemewahan, akan ditanya dengan sorot mata penuh wibawa : “Anna laka hadza ?” (Darimana kau peroleh hartamu ini ?). Lalu ia segera memerintahkan pemeriksa untuk meneliti berapa jumlah kekayaan si pejabat sebelum dan sesudah ia menduduki sebuah jabatan. Jika ada kelebihan, dari mana ia mendapatkannya.
Jika ternyata diketahui bahwa pertambahan kekayaan si pejabat diperoleh bukan dari hasil gaji resmi negara, maka disitalah harta itu dan dimasukkan ke kas negara (baitul maal). Harta yang oleh khalifah dianggap bukan hak milik pribadi, dinyatakan sebagai milik umat dan hak milik Allah. Sebab kekayaan demikian bukan mustahil berasal dari hadiah dan sogok kepada pejabat itu untuk mendapatkan kemudahan bagi si penyogok, atau berasal dari pemerasan secara halus atas rakyat atau juga pengaruh kekuasaannya.
Demikianlah, Baitul Maal (BM) bertambah jumlahnya karena hasil sitaan dari berbagai pejabat korup, mulai dari gubernur, komandan pasukan, pemungut zakat bahkan dari kalangan keluarga Khalifah sendiri.
Kasus Sang Isteri
Di suatu malam, isteri khalifah memakai seuntai kalung mutiara yang sangat indah. Demi khalifah mengetahui isterinya mengenakan kalung tersebut, lalu ia bertanya : “Dari mana kau dapatkan kalung ini ?.”
Dengan rasa senang si isteri menceritakan bahwa kalung itu hadiah dari Kaisar Romawi Timur. Mendengar cerita itu Khalifah menyuruh isterinya melepas kalung tersebut untuk diserahkan ke Baitul Maal melalui Perbendaharaan Negara.
Hal yang sama juga dilakukan atas gubernur Mesir, Amru ibnul Ash. Ketika diketahui dari kekayaan gubernur tersebut ada harta yang tidak halal, maka hartanya disita dan dimasukkan ke BM. Dan semua tindakan Khalifah yang tegas, keras, dan adil itu dilakukan berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah 188 yang artinya:
“Dan janganlah kamu makan harta antara kamu dengan cara yang bathil. Dan jangan kamu suapkan harta itu kepada pembesar negeri (pejabat), supaya dengan jalan itu (kamu) dapat mengambil harta orang lain dengan cara dosa. Padahal kamu mengetahui akibatnya”.
Dan juga hadits Rasulullah SAW : “Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam pemerintahan.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan At-Turmudzy). Dan hadits lain yang menceritakan tentang kemarahan Nabi Muhammad SAW kepada seorang petugas pemungut zakat yang diketahui menerima hadiah yang melaporkan kepada Nabi : “Ini zakat, tapi ini sebagai hadiah orang kepadaku.” Lalu Nabi membentak : “Berdiamlah kau di rumahmu sebagai orang swasta. Nanti kau akan melihat, apakah akan ada orang datang kepadamu untuk memberikan hadiah atau tidak ?.”
Demikian kerasnya hukum Negara Islam, sehingga hadiah atau menerima hadiah untuk para pejabat negara digolongkan sebagai tindak korupsi. Dan hadiah-hadiah demikian harus disetor ke BM.
Mengapa Islam Jaya
Berbagai peringatan dan ancaman yang dikemukakan oleh Nabi SAW terhadap tindakan korupsi dan penyelewengan terhadap negara – yang dalam hukum Islam disebut ghulul – dinyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Imran : 161 yang artinya :
“Orang yang melakukan ghulul (mengkorup harta negara), Allah pasti melahirkan ghulul itu (harta korupsinya) di hari kiamat.”
Lalu dijelaskan oleh Rasulullah SAW : “Jika yang dikorupsinya kambing, ia akan mengembek. Jika berupa sapi, ia akan mengeluh dan menanduk koruptornya.”
Demikian besar keyakinan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan yang berpendapat bahwa hancurnya suatu pemerintahan negara akan terjadi karena tidak adanya usaha memberantas yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan terhadap tindakan-tindakan korupsi, kolusi, dan sejenisnya. Hal ini tercermin dalam khutbah akhirnya ketika haji wada’ dalam pesannya :
“Wahai kaumku! Dengarlah perkataanku dan camkan dalam hatimu, bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi setiap Muslim lainnya. Dan sekarang, kamu sekalian terikat dalam satu ikatan persaudaraan. Oleh karena itu, tidak diperkenankan bagi siapapun diantarakamu untuk memperkaya dirinya dengan milik saudaramu yang lain, kecuali kalau saudaramu itu memberikan kepadamu dengan ikhlas (rela).”
Dengan konsep dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang dilaksanakan dengan tegas, adil, dan tidak pandang bulu inilah pemerintah Islam berkembang dengan pesat dan kuat. Sinarnya memancar ke seluruh dunia. Para pemimpinnya disegani oleh kawan dan lawan karena mengikuti jejak Nabi dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Namun demikian, Nabi-pun memperingatkan dengan tegas pula bahwa gagalnya suatu pemerintahan tergantung dari akhlak para pemimpinnya juga. Sabda beliau:
“Kamu menduduki kedudukan orang yang dzalim sebelum kamu, lalu kamu berbuat pula kedzaliman seperti orang yang kamu gantikan itu.”
Sabdanya lagi :”Akan datang suatu masa, dimana hari esoknya lebih buruk dari hari kininya.”
Dan kepada para pemimpin/wakilrakyat, Rasulullah SAW mengingatkan :
Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu akan ditanya mengenai rakyat yang dipimpinnya (HR. Bukhari – Muslim).
Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ia mati, sedang ia masih (dalam keadaan) menipu rakyatnya, maka Allah mengharamkan baginya surga. (HR. Bukhari – Muslim).
Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum Muslim, lalu ia bersembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari kiamat…. (HR. Abu Dawud – At-Turmudzi).
Sumber : halaqohdakwah.wordpress.com
Kepada para pembesar negara, sipil atau militer, yang kaya dan penuh kemewahan, akan ditanya dengan sorot mata penuh wibawa : “Anna laka hadza ?” (Darimana kau peroleh hartamu ini ?). Lalu ia segera memerintahkan pemeriksa untuk meneliti berapa jumlah kekayaan si pejabat sebelum dan sesudah ia menduduki sebuah jabatan. Jika ada kelebihan, dari mana ia mendapatkannya.
Jika ternyata diketahui bahwa pertambahan kekayaan si pejabat diperoleh bukan dari hasil gaji resmi negara, maka disitalah harta itu dan dimasukkan ke kas negara (baitul maal). Harta yang oleh khalifah dianggap bukan hak milik pribadi, dinyatakan sebagai milik umat dan hak milik Allah. Sebab kekayaan demikian bukan mustahil berasal dari hadiah dan sogok kepada pejabat itu untuk mendapatkan kemudahan bagi si penyogok, atau berasal dari pemerasan secara halus atas rakyat atau juga pengaruh kekuasaannya.
Demikianlah, Baitul Maal (BM) bertambah jumlahnya karena hasil sitaan dari berbagai pejabat korup, mulai dari gubernur, komandan pasukan, pemungut zakat bahkan dari kalangan keluarga Khalifah sendiri.
Kasus Sang Isteri
Di suatu malam, isteri khalifah memakai seuntai kalung mutiara yang sangat indah. Demi khalifah mengetahui isterinya mengenakan kalung tersebut, lalu ia bertanya : “Dari mana kau dapatkan kalung ini ?.”
Dengan rasa senang si isteri menceritakan bahwa kalung itu hadiah dari Kaisar Romawi Timur. Mendengar cerita itu Khalifah menyuruh isterinya melepas kalung tersebut untuk diserahkan ke Baitul Maal melalui Perbendaharaan Negara.
Hal yang sama juga dilakukan atas gubernur Mesir, Amru ibnul Ash. Ketika diketahui dari kekayaan gubernur tersebut ada harta yang tidak halal, maka hartanya disita dan dimasukkan ke BM. Dan semua tindakan Khalifah yang tegas, keras, dan adil itu dilakukan berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah 188 yang artinya:
“Dan janganlah kamu makan harta antara kamu dengan cara yang bathil. Dan jangan kamu suapkan harta itu kepada pembesar negeri (pejabat), supaya dengan jalan itu (kamu) dapat mengambil harta orang lain dengan cara dosa. Padahal kamu mengetahui akibatnya”.
Dan juga hadits Rasulullah SAW : “Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam pemerintahan.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan At-Turmudzy). Dan hadits lain yang menceritakan tentang kemarahan Nabi Muhammad SAW kepada seorang petugas pemungut zakat yang diketahui menerima hadiah yang melaporkan kepada Nabi : “Ini zakat, tapi ini sebagai hadiah orang kepadaku.” Lalu Nabi membentak : “Berdiamlah kau di rumahmu sebagai orang swasta. Nanti kau akan melihat, apakah akan ada orang datang kepadamu untuk memberikan hadiah atau tidak ?.”
Demikian kerasnya hukum Negara Islam, sehingga hadiah atau menerima hadiah untuk para pejabat negara digolongkan sebagai tindak korupsi. Dan hadiah-hadiah demikian harus disetor ke BM.
Mengapa Islam Jaya
Berbagai peringatan dan ancaman yang dikemukakan oleh Nabi SAW terhadap tindakan korupsi dan penyelewengan terhadap negara – yang dalam hukum Islam disebut ghulul – dinyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Imran : 161 yang artinya :
“Orang yang melakukan ghulul (mengkorup harta negara), Allah pasti melahirkan ghulul itu (harta korupsinya) di hari kiamat.”
Lalu dijelaskan oleh Rasulullah SAW : “Jika yang dikorupsinya kambing, ia akan mengembek. Jika berupa sapi, ia akan mengeluh dan menanduk koruptornya.”
Demikian besar keyakinan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan yang berpendapat bahwa hancurnya suatu pemerintahan negara akan terjadi karena tidak adanya usaha memberantas yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan terhadap tindakan-tindakan korupsi, kolusi, dan sejenisnya. Hal ini tercermin dalam khutbah akhirnya ketika haji wada’ dalam pesannya :
“Wahai kaumku! Dengarlah perkataanku dan camkan dalam hatimu, bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi setiap Muslim lainnya. Dan sekarang, kamu sekalian terikat dalam satu ikatan persaudaraan. Oleh karena itu, tidak diperkenankan bagi siapapun diantarakamu untuk memperkaya dirinya dengan milik saudaramu yang lain, kecuali kalau saudaramu itu memberikan kepadamu dengan ikhlas (rela).”
Dengan konsep dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang dilaksanakan dengan tegas, adil, dan tidak pandang bulu inilah pemerintah Islam berkembang dengan pesat dan kuat. Sinarnya memancar ke seluruh dunia. Para pemimpinnya disegani oleh kawan dan lawan karena mengikuti jejak Nabi dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Namun demikian, Nabi-pun memperingatkan dengan tegas pula bahwa gagalnya suatu pemerintahan tergantung dari akhlak para pemimpinnya juga. Sabda beliau:
“Kamu menduduki kedudukan orang yang dzalim sebelum kamu, lalu kamu berbuat pula kedzaliman seperti orang yang kamu gantikan itu.”
Sabdanya lagi :”Akan datang suatu masa, dimana hari esoknya lebih buruk dari hari kininya.”
Dan kepada para pemimpin/wakilrakyat, Rasulullah SAW mengingatkan :
Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu akan ditanya mengenai rakyat yang dipimpinnya (HR. Bukhari – Muslim).
Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ia mati, sedang ia masih (dalam keadaan) menipu rakyatnya, maka Allah mengharamkan baginya surga. (HR. Bukhari – Muslim).
Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum Muslim, lalu ia bersembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari kiamat…. (HR. Abu Dawud – At-Turmudzi).
Sumber : halaqohdakwah.wordpress.com