Tipsiana.com - Setelah bom atom dijatuhkan di kota Nagasaki dan Hiroshima, pada 15 Agustus 1945, Jepang akhirnya menyatakan menyerah, dan Perang Dunia kedua pun usai. Tapi bagi sebagian orang, perang belum berakhir.
Letnan Hiroo Onoda berumur 22 tahun ketika ia ditempatkan di Pulau Lubang, Filipina pada Desember 1944. Sebagai seorang perwira intelejen, ia diberi perintah untuk mengganggu dan menyabotase pergerakan lawan, serta tak boleh menyerah atau bunuh diri.
Tentara sekutu mendarat di pulau tersebut pada bulan Februari 1945. Perintah terakhir dari atasannya adalah ia harus segera mundur ke pedalaman pulau dan mengganggu usaha invasi tentara sekutu hingga pasukan bantuan kekaisan Jepang datang membantu. "Kau tidak boleh mati bunuh diri," perintah atasannya. "Mungkin butuh waktu hingga tiga tahun, mungkin juga lima tahun, apapun yang terjadi, kami akan datang menjemputmu. Sebelum kami datang, meski kamu hanya tinggal punya satu prajurit, kamu harus terus memimpinnya".
Onoda terus menjalankan misinya dan bertahan hidup dalam hutan, ia hidup bersama tiga prajurit bawahannya; Prada Yuichi Akatsu, Kopral Sjoichi Shimada dan Pratu Kinshichi Kozuka. Selama tinggal dalam hutan, ia bersama prajuritnya melakukan aktivitas gerilya dan beberapa kali terlibat kontak tembak dengan kepolisian.
Meski tinggal dalam hutan, sebenarnya mereka telah mendapat informasi kalau Jepang telah kalah perang. Pertama kali informasi didapat dari sebuah selebaran yang menyatakan Jepang telah menyerah pada Oktober 1945. Selebaran didapat saat anak buahnya menembak seekor sapi dan menemukan selebaran yang ditinggal penduduk sekitar berisi tulisan: "Perang telah berakhir pada 15 Agustus. Turunlah dari Gunung!". Tapi mereka tidak percaya. Mereka menyimpulkan selebaran tersebut hanya propaganda tentara sekutu.
Di penghujung tahun 1945, selebaran dijatuhkan dari udara dengan isi perintah menyerah dari Jenderal Tomoyuki Yamashita. Setelah berbulan-bulan bergerilya, selebaran ini adalah bukti paling otentik kalau perang telah usai. Onoda melihat dengan cermat brosur tersebut untuk membuktian keasliannya, dan mereka memutuskan kalau selebaran itu palsu.
Salah seorang prajuritnya, Yuichi Akatsu memisahkan diri dari kelompok pada September 1949 dan menyerah kepada tentara Filipina di tahun 1950 setelah enam bulan bergerilya sendirian. Ini menjadi peringatan bagi Onoda dan ia menjadi lebih waspada. Di Tahun 1952, surat dan foto dari keluarga mereka dijatuhkan dari pesawat untuk membujuk mereka agar menyerah. Tapi sekali lagi, tiga prajurit keras kepala tersebut menganggapnya sebagai sebuah tipuan.
Shimada tertembak di kaki ketika terjadi baku tembak dengan nelayan lokal pada Juni 1953, namun Onoda berhasil menyembuhkannya. Pada 7 Mei 1954, Shimada tewas akibat tembakan pasukan Filipina yang memburu mereka ke dalam hutan. Kozuka tewas dengan dua tembakan oleh polisi lokal pada 19 Oktober 1972, ketika ia dan Onoda, melakukan sabotase dengan membakar lumbung padi petani. Onoda kini sendirian.
Pada 20 Februari 1974, Onoda bertemu dengan seorang pria Jepang, Norio Suzuki, yang telah berpetualang keliling dunia dengan tiga tujuan; 'Mencari Letnan Onoda, bertemu Panda dan berusaha menemukan Manusia salju'. Suzuki menemukan Onoda setelah empat hari pencarian. Onoda menceritakan momen ini ketika diwawancarai pada 2010: "Suzuki, si bocah petualang ini datang ke pulau untuk menemuiku dan ia bertanya mengapa aku tak mau keluar?" Onoda dan Suzuki menjadi teman baik, tapi Onoda tetap menolak menyerah, ia masih menunggu perintah dari atasannya langsung.
Suzuki kembali ke Jepang bersama foto ia dengan Onoda sebagai bukti pertemuan mereka. Pemerintah Jepang lalu segera mencari atasan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang kini telah menjadi seorang penjual buku. Setelah 29 tahun berlalu, ia terbang kembali ke Pulau Lubang, dan pada 9 Maret 1974 akhirnya bertemu dengan Onoda dan memenuhi janji yang dibuatnya pada tahun 1944, "Apapun yang terjadi, aku akan kembali menjemputmu."
Onoda akhirnya dibebas-tugaskan dan bersedia menyerah. Ia menyerahkan sebilah pedang katana, sebuah senapan jenis Arisaka tipe 99 yang masih berfungsi, 500 butir peluru dan beberapa buah granat tangan, juga sebilah belati pemberian ibunya pada tahun 1944 yang akan digunakan untuk bunuh diri bila ia tertangkap. Meski ia telah membunuh 30 orang dan beberapa kali terlibat baku tembak dengan pihak keamanan Filipina, situasi dimana ia percaya perang masih berlangsung, menjadi pertimbangan pemerintah Filipina dan ia mendapatkan pengampunan dari presiden Ferdinand Marcos.
Onoda meninggal pada 16 Januari 2014 dalam usia 91 tahun. Terlepas dari statusnya sebagai tentara penjajah, keteguhan hatinya menjalankan perintah atasan menjadi begitu fenomenal. Ia adalah gambaran pria Jepang yang menjunjung tinggi nilai Bushido, seorang ksatria samurai sejati.
Sementara Suzuki, pria petualang yang telah membantu Onoda, kembali berkeliling dunia dan akhirnya bisa bertemu panda. Namun di tahun 1986, ia tewas tertimbun salju longsor di Himalaya ketika mencari Manusia salju.
Letnan Hiroo Onoda berumur 22 tahun ketika ia ditempatkan di Pulau Lubang, Filipina pada Desember 1944. Sebagai seorang perwira intelejen, ia diberi perintah untuk mengganggu dan menyabotase pergerakan lawan, serta tak boleh menyerah atau bunuh diri.
Tentara sekutu mendarat di pulau tersebut pada bulan Februari 1945. Perintah terakhir dari atasannya adalah ia harus segera mundur ke pedalaman pulau dan mengganggu usaha invasi tentara sekutu hingga pasukan bantuan kekaisan Jepang datang membantu. "Kau tidak boleh mati bunuh diri," perintah atasannya. "Mungkin butuh waktu hingga tiga tahun, mungkin juga lima tahun, apapun yang terjadi, kami akan datang menjemputmu. Sebelum kami datang, meski kamu hanya tinggal punya satu prajurit, kamu harus terus memimpinnya".
Onoda terus menjalankan misinya dan bertahan hidup dalam hutan, ia hidup bersama tiga prajurit bawahannya; Prada Yuichi Akatsu, Kopral Sjoichi Shimada dan Pratu Kinshichi Kozuka. Selama tinggal dalam hutan, ia bersama prajuritnya melakukan aktivitas gerilya dan beberapa kali terlibat kontak tembak dengan kepolisian.
Letnan Hiroo Onoda muda, 1944
Meski tinggal dalam hutan, sebenarnya mereka telah mendapat informasi kalau Jepang telah kalah perang. Pertama kali informasi didapat dari sebuah selebaran yang menyatakan Jepang telah menyerah pada Oktober 1945. Selebaran didapat saat anak buahnya menembak seekor sapi dan menemukan selebaran yang ditinggal penduduk sekitar berisi tulisan: "Perang telah berakhir pada 15 Agustus. Turunlah dari Gunung!". Tapi mereka tidak percaya. Mereka menyimpulkan selebaran tersebut hanya propaganda tentara sekutu.
Di penghujung tahun 1945, selebaran dijatuhkan dari udara dengan isi perintah menyerah dari Jenderal Tomoyuki Yamashita. Setelah berbulan-bulan bergerilya, selebaran ini adalah bukti paling otentik kalau perang telah usai. Onoda melihat dengan cermat brosur tersebut untuk membuktian keasliannya, dan mereka memutuskan kalau selebaran itu palsu.
Salah seorang prajuritnya, Yuichi Akatsu memisahkan diri dari kelompok pada September 1949 dan menyerah kepada tentara Filipina di tahun 1950 setelah enam bulan bergerilya sendirian. Ini menjadi peringatan bagi Onoda dan ia menjadi lebih waspada. Di Tahun 1952, surat dan foto dari keluarga mereka dijatuhkan dari pesawat untuk membujuk mereka agar menyerah. Tapi sekali lagi, tiga prajurit keras kepala tersebut menganggapnya sebagai sebuah tipuan.
Shimada tertembak di kaki ketika terjadi baku tembak dengan nelayan lokal pada Juni 1953, namun Onoda berhasil menyembuhkannya. Pada 7 Mei 1954, Shimada tewas akibat tembakan pasukan Filipina yang memburu mereka ke dalam hutan. Kozuka tewas dengan dua tembakan oleh polisi lokal pada 19 Oktober 1972, ketika ia dan Onoda, melakukan sabotase dengan membakar lumbung padi petani. Onoda kini sendirian.
Onoda bersama Norio Suzuki, lelaki yang akhirnya membantu Onoda untuk menyerah
Pada 20 Februari 1974, Onoda bertemu dengan seorang pria Jepang, Norio Suzuki, yang telah berpetualang keliling dunia dengan tiga tujuan; 'Mencari Letnan Onoda, bertemu Panda dan berusaha menemukan Manusia salju'. Suzuki menemukan Onoda setelah empat hari pencarian. Onoda menceritakan momen ini ketika diwawancarai pada 2010: "Suzuki, si bocah petualang ini datang ke pulau untuk menemuiku dan ia bertanya mengapa aku tak mau keluar?" Onoda dan Suzuki menjadi teman baik, tapi Onoda tetap menolak menyerah, ia masih menunggu perintah dari atasannya langsung.
Letnan Onoda memberi hormat dengan pakaian militer lusuhnya yang telah berusia lebih dari 29 tahun. Terlihat sarung pedang katana miliknya telah berkarat termakan usia.
Suzuki kembali ke Jepang bersama foto ia dengan Onoda sebagai bukti pertemuan mereka. Pemerintah Jepang lalu segera mencari atasan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang kini telah menjadi seorang penjual buku. Setelah 29 tahun berlalu, ia terbang kembali ke Pulau Lubang, dan pada 9 Maret 1974 akhirnya bertemu dengan Onoda dan memenuhi janji yang dibuatnya pada tahun 1944, "Apapun yang terjadi, aku akan kembali menjemputmu."
Onoda akhirnya dibebas-tugaskan dan bersedia menyerah. Ia menyerahkan sebilah pedang katana, sebuah senapan jenis Arisaka tipe 99 yang masih berfungsi, 500 butir peluru dan beberapa buah granat tangan, juga sebilah belati pemberian ibunya pada tahun 1944 yang akan digunakan untuk bunuh diri bila ia tertangkap. Meski ia telah membunuh 30 orang dan beberapa kali terlibat baku tembak dengan pihak keamanan Filipina, situasi dimana ia percaya perang masih berlangsung, menjadi pertimbangan pemerintah Filipina dan ia mendapatkan pengampunan dari presiden Ferdinand Marcos.
Onoda meninggal pada 16 Januari 2014 dalam usia 91 tahun. Terlepas dari statusnya sebagai tentara penjajah, keteguhan hatinya menjalankan perintah atasan menjadi begitu fenomenal. Ia adalah gambaran pria Jepang yang menjunjung tinggi nilai Bushido, seorang ksatria samurai sejati.
Onoda saat kembali ke Jepang setelah 29 tahun hidup di hutan
Sementara Suzuki, pria petualang yang telah membantu Onoda, kembali berkeliling dunia dan akhirnya bisa bertemu panda. Namun di tahun 1986, ia tewas tertimbun salju longsor di Himalaya ketika mencari Manusia salju.
Onoda di tahun 1975, setahun setelah kepulangannya.