Tipsiana.com - Peristiwa Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 adalah salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan sekutu yang dimotori tentara Inggris ini adalah bukti keberanian para pejuang meski dengan persenjataan tak berimbang.
Dokumentasi peristiwa tersebut sangat lengkap dalam literatur sejarah, namun untuk dokumentasi dalam bentuk foto atau rekaman video ternyata sangat sedikit. Salah satu foto ikonik saat Bung Tomo tampak sedang berpidato yang lekat dengan peristiwa 10 November, ternyata diambil saat beliau berpidato di Mojokerto guna mengumpulkan sumbangan untuk korban perang Surabaya.
Anda bisa menikmati dokumenter Pertempuran Surabaya, 10 November 1945 via Youtube disini:
Foto-foto suasana pertempuran justru bersumber dari pihak luar. Imperial War Museum (IMW), museum yang didanai pemerintah Inggris, menyimpan dokumentasi situasi pertempuran Surabaya yang cukup beragam. Tentu saja karena foto-foto tersebut berasal dari arsip militer Inggris, pertempuran lebih banyak terlihat dari sisi pihak sekutu.
Berikut deretan foto suasana pertempuran Surabaya beserta kronologisnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta, para pejuang di seluruh Indonesia bangkit untuk merebut wilayah yang dikuasai Jepang. Para pemuda Surabaya pun segera merampas peralatan militer Jepang dan berhasil memperoleh banyak senjata. Gerakan pemuda Surabaya segera diorganisir untuk bersiap menghadapi ancaman dari pihak penjajah yang ingin kembali mengklaim untuk berkuasa.
Ancaman tersebut benar datang pada tanggal 25 Oktober 1945, 5000 tentara dari Divisi 23 sekutu yang dipimpin Brigadir AWS Mallaby mendarat di Surabaya. Mereka segera masuk kedalam kota dan mendirikan pos-pos pertahanan di delapan titik strategis.
Misi awal mereka adalah ingin menyita senjata Jepang yang telah dikuasai pejuang rakyat. Pejuang menolak keras permintaan mereka sampai akhirnya sekutu urung melucuti senjata yang telah dikuasai pejuang.
Tapi rentetan peristiwa penyerangan dan ancaman yang dilakukan pihak sekutu membuat pejuang marah. Penyerangan tentara ke sekutu ke penjara Kalisolok untuk membebaskan perwira Belanda, kolonel Huiyer dan penyebaran pamflet peringatan untuk menyerahkan senjata dengan ancaman tembak ditempat, membuat militer Indonesia geram dan memerintahkan menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris di Surabaya.
Serangan besar-besaran pada tanggal 28 Oktober 1945 dimulai pada pukul 4.30 pagi. 30.000 pejuang bersenjata api ditambah 100.000 rakyat dengan senjata tajam menggempur delapan pos Sekutu. Serangan tiba-tiba tersebut memaksa Sekutu menyerah dan meminta berunding.
18 perwira dan 374 serdadu sekutu tewas, luka-luka dan hilang dalam serangan. Sementara 6000 pejuang Indonesia gugur, luka dan hilang. Andai perang dilanjutakan Brigadir Mallaby yakin mereka akan habis.
Setelah Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta berunding dengan Mallaby pada 29 Oktober, dicapai kesepakatan gencatan senjata dan kota Surabaya dikuasai penuh oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Indonesia.
Peristiwa tak terduga terjadi pada 30 Oktober 1945. Saat para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak (yang bertugas mensosialisasikan genjatan senjata) mendatangi beberapa tempat yang masih terjadi pertempuran, kesalahpahaman terjadi. Brigadir Mallaby yang menolak permintaan pemuda agar pasukannya yang terkepung menyerah, terlibat insiden baku tembak dan akhirnya tewas.
Seorang sersan tentara Inggris mengecek rongsokan mobil Brigadir Mallaby setelah terlibat kontak tembak dengan pejuang Indonesia
Meski dari berbagai kesaksian perwira Inggris di tempat kejadian yang mengatakan pihak Inggrislah yang pertama kali memulai tembakan, pihak sekutu tetap marah besar. Letjen Christison mengultimatum pejuang Indonesia untuk menyerah. Jelas pihak Indonesia menolak dengan tegas karena yakin peristiwa tersebut adalah kecelakaan.
Diam-diam, sekutu mengerahkan pasukannya secara besar-besaran memasuki kota Surabaya. 24.000 tentara dari Divisi 5 Inggris dikomandoi Mayjen RC Mansergh menyusup masuk. Kapal perang dengan 1500 marinir juga merapat ke Surabaya. Dan berbagai jenis pesawat tempur dan tank Sherman dengan persenjataan tercanggih saat itu diterjunkan.
Pada 9 November 1945 jam 2 siang, Mayjen Mansergh mengultimatum Indonesia. Isi ultimatum tersebut sangat melecehkan pejuang:
Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Ultimatum yang tak masuk akal tersebut ditanggapi dengan perlawanan. Komandan pertahanan kota Soengkono dihari yang sama pada jam 5 sore mengadakan pertemuan dengan seluruh unsur kekuatan rakyat di Markas Pregolan 4. Ia menawarkan untuk meninggalkan kota bagi yang merasa tak mampu, namun seluruh pejuang bertekad mempertahankan Surabaya sampai titik darah penghabisan. Para ulama juga turut andil mengobarkan semangan jihad pada para santrinya yang ikut berjuang.
Secara resmi, pada pukul 10 malam, Gubernur Surabaya, Soeryo menyatakan menolak ultimatum Inggris melalui radio. Radio perlawanan yang dipimpin Bung Tomo menyerukan panggilan Jihad untuk membakar semangat juang rakyat. Pidatonya yang berapi-api hingga kini masih bisa di dengar.
10 November 1945 jam 6 pagi, tepat setelah batas waktu ultimatum habis, Inggris menggempur kota Surabaya dari darat, laut dan udara. Pengeboman membabi buta tersebut menimbulkan banyak korban sipil. Pasar Turi yang sedang ramai, terkena hujan bom dan menewaskan ratusan penduduk sipil.
Selama tiga minggu pertempuran tak seimbang tersebut berlangsung, tercatat lebih dari 20.000 rakyat Surabaya tewas. Sementara 150.000 orang terpaksa mengungsi meninggalkan kota. Surabaya luluh lantak. Sementara Inggris mencatat 1.500 tentaranya tewas, luka-luka atau hilang.
28 November 1945 adalah perlawan terakhir dari pejuang yang terjadi di daerah Gunungsari. Meski secara sporadis kontak tembak masih terjadi di beberapa tempat. Namun secara de facto perlawanan pejuang telah berhenti.
Indonesia kalah dalam pertempuran tersebut. Namun pertempuran Surabaya menjadi bukti bahwa rakyat Indonesia rela berkorban jiwa raga untuk mempertahankan kemerdekaan. Slogan "Merdeka atau mati" benar-benar terbukti. 10 November akhirnya ditetapkan sebagai hari pahlawan oleh Presiden Soekarno setahun kemudian.
Sumber foto : Imperial War Museum
Dokumentasi peristiwa tersebut sangat lengkap dalam literatur sejarah, namun untuk dokumentasi dalam bentuk foto atau rekaman video ternyata sangat sedikit. Salah satu foto ikonik saat Bung Tomo tampak sedang berpidato yang lekat dengan peristiwa 10 November, ternyata diambil saat beliau berpidato di Mojokerto guna mengumpulkan sumbangan untuk korban perang Surabaya.
Anda bisa menikmati dokumenter Pertempuran Surabaya, 10 November 1945 via Youtube disini:
Foto-foto suasana pertempuran justru bersumber dari pihak luar. Imperial War Museum (IMW), museum yang didanai pemerintah Inggris, menyimpan dokumentasi situasi pertempuran Surabaya yang cukup beragam. Tentu saja karena foto-foto tersebut berasal dari arsip militer Inggris, pertempuran lebih banyak terlihat dari sisi pihak sekutu.
Berikut deretan foto suasana pertempuran Surabaya beserta kronologisnya.
Dua tentara infantri Inggris berlari di sebuah jalan di kota Surabaya saat bertempur melawan pejuang Indonesia
Tentara infantri Inggris berlindung di sisi jalan
Tentara Gurkha berlindung di balik tank Stuart Inggris
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta, para pejuang di seluruh Indonesia bangkit untuk merebut wilayah yang dikuasai Jepang. Para pemuda Surabaya pun segera merampas peralatan militer Jepang dan berhasil memperoleh banyak senjata. Gerakan pemuda Surabaya segera diorganisir untuk bersiap menghadapi ancaman dari pihak penjajah yang ingin kembali mengklaim untuk berkuasa.
Ancaman tersebut benar datang pada tanggal 25 Oktober 1945, 5000 tentara dari Divisi 23 sekutu yang dipimpin Brigadir AWS Mallaby mendarat di Surabaya. Mereka segera masuk kedalam kota dan mendirikan pos-pos pertahanan di delapan titik strategis.
Tentara Gurkha melindungi konvoi tank ringan jenis Stuar milik Inggris
Tentara Inggris sedang memegang senapan Jepang dan bom molotov yang disita dari pejuang Indonesia.
Warga sipil mengungsi meninggalkan kota Surabaya
Misi awal mereka adalah ingin menyita senjata Jepang yang telah dikuasai pejuang rakyat. Pejuang menolak keras permintaan mereka sampai akhirnya sekutu urung melucuti senjata yang telah dikuasai pejuang.
Tapi rentetan peristiwa penyerangan dan ancaman yang dilakukan pihak sekutu membuat pejuang marah. Penyerangan tentara ke sekutu ke penjara Kalisolok untuk membebaskan perwira Belanda, kolonel Huiyer dan penyebaran pamflet peringatan untuk menyerahkan senjata dengan ancaman tembak ditempat, membuat militer Indonesia geram dan memerintahkan menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris di Surabaya.
Anggota palang merah dari warga keturunan Tionghoa bersiaga menanti korban luka
Tentara Inggris dengan sejana jenis Bren berlindung dari serbuan pejuang.
Tumpukan goni berisi pasir melindung pos penjagaan yang dilengkapi senapan mesin
Serangan besar-besaran pada tanggal 28 Oktober 1945 dimulai pada pukul 4.30 pagi. 30.000 pejuang bersenjata api ditambah 100.000 rakyat dengan senjata tajam menggempur delapan pos Sekutu. Serangan tiba-tiba tersebut memaksa Sekutu menyerah dan meminta berunding.
18 perwira dan 374 serdadu sekutu tewas, luka-luka dan hilang dalam serangan. Sementara 6000 pejuang Indonesia gugur, luka dan hilang. Andai perang dilanjutakan Brigadir Mallaby yakin mereka akan habis.
Setelah Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta berunding dengan Mallaby pada 29 Oktober, dicapai kesepakatan gencatan senjata dan kota Surabaya dikuasai penuh oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Indonesia.
Peristiwa tak terduga terjadi pada 30 Oktober 1945. Saat para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak (yang bertugas mensosialisasikan genjatan senjata) mendatangi beberapa tempat yang masih terjadi pertempuran, kesalahpahaman terjadi. Brigadir Mallaby yang menolak permintaan pemuda agar pasukannya yang terkepung menyerah, terlibat insiden baku tembak dan akhirnya tewas.
Bangkai mobil Brigadir Mallaby yang hangus terbakar akibat ledakan granat yang dilempar tentaranya sendiri
Seorang sersan tentara Inggris mengecek rongsokan mobil Brigadir Mallaby setelah terlibat kontak tembak dengan pejuang Indonesia
Meski dari berbagai kesaksian perwira Inggris di tempat kejadian yang mengatakan pihak Inggrislah yang pertama kali memulai tembakan, pihak sekutu tetap marah besar. Letjen Christison mengultimatum pejuang Indonesia untuk menyerah. Jelas pihak Indonesia menolak dengan tegas karena yakin peristiwa tersebut adalah kecelakaan.
Diam-diam, sekutu mengerahkan pasukannya secara besar-besaran memasuki kota Surabaya. 24.000 tentara dari Divisi 5 Inggris dikomandoi Mayjen RC Mansergh menyusup masuk. Kapal perang dengan 1500 marinir juga merapat ke Surabaya. Dan berbagai jenis pesawat tempur dan tank Sherman dengan persenjataan tercanggih saat itu diterjunkan.
Tentara Gurkha membongkar blokade yang dibuat pejuang di sebuah jalan di Surabaya
Coretan berisi pesan semangat juang memenuhi dinding sebuah bangunan di kota Surabaya
Pada 9 November 1945 jam 2 siang, Mayjen Mansergh mengultimatum Indonesia. Isi ultimatum tersebut sangat melecehkan pejuang:
Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Ultimatum yang tak masuk akal tersebut ditanggapi dengan perlawanan. Komandan pertahanan kota Soengkono dihari yang sama pada jam 5 sore mengadakan pertemuan dengan seluruh unsur kekuatan rakyat di Markas Pregolan 4. Ia menawarkan untuk meninggalkan kota bagi yang merasa tak mampu, namun seluruh pejuang bertekad mempertahankan Surabaya sampai titik darah penghabisan. Para ulama juga turut andil mengobarkan semangan jihad pada para santrinya yang ikut berjuang.
Pengungsi keturunan Tionghoa meninggalkan kota Surabaya
Kapal tanker bekas Jepang; OSAKA MARU terbakar di pelabuhan Surabaya
Seorang kepala polisi Indonesia menerima 18 senapan dan 200 amunisi untuk menjaga keamanan sekitar. Senjata didapat dari hasil sitaan tentara Sekutu. Tiga hari setelah foto ini diambil, Tentara Pejuang Indonesia menguasai kembali senjata tersebut.
Seorang tentara Gurkha mengamati tank ringan yang dirampas dari pejuang Indonesia.
Secara resmi, pada pukul 10 malam, Gubernur Surabaya, Soeryo menyatakan menolak ultimatum Inggris melalui radio. Radio perlawanan yang dipimpin Bung Tomo menyerukan panggilan Jihad untuk membakar semangat juang rakyat. Pidatonya yang berapi-api hingga kini masih bisa di dengar.
10 November 1945 jam 6 pagi, tepat setelah batas waktu ultimatum habis, Inggris menggempur kota Surabaya dari darat, laut dan udara. Pengeboman membabi buta tersebut menimbulkan banyak korban sipil. Pasar Turi yang sedang ramai, terkena hujan bom dan menewaskan ratusan penduduk sipil.
Tentara Gurkha dari Divisi 5 yang terluka sedang menunggu evakuasi setelah terjadi baku tembak dengan tentara Indonesia di pinggiran kota Surabaya.
Penduduk sipil ditangkap tentara Gurkha karena dituduh menjarah.
Tentara Gurkha memborbardir posisi pejuang di kota Gresik (10 mil dari Surabaya) dengan meriam 3,7 inchi.
Selama tiga minggu pertempuran tak seimbang tersebut berlangsung, tercatat lebih dari 20.000 rakyat Surabaya tewas. Sementara 150.000 orang terpaksa mengungsi meninggalkan kota. Surabaya luluh lantak. Sementara Inggris mencatat 1.500 tentaranya tewas, luka-luka atau hilang.
28 November 1945 adalah perlawan terakhir dari pejuang yang terjadi di daerah Gunungsari. Meski secara sporadis kontak tembak masih terjadi di beberapa tempat. Namun secara de facto perlawanan pejuang telah berhenti.
Tentara Gurkha berlindung dibalik tank Indonesia yang rusak
Warga sipil mengantri air bersih. Selama pertempuran, pasokan air bersih berhenti mengalir di kota Surabaya.
Tentara Gurkha sedang bertempur melawan Sniper pejuang Indonesia di sebuah desa diluar kota Surabaya
Pengumuman yang ditempel oleh tentara Indonesia di Surabaya, meminta pasukan Gurkha yang berasal dari India untuk tidak ikut bertempur melawan Indonesia.
Indonesia kalah dalam pertempuran tersebut. Namun pertempuran Surabaya menjadi bukti bahwa rakyat Indonesia rela berkorban jiwa raga untuk mempertahankan kemerdekaan. Slogan "Merdeka atau mati" benar-benar terbukti. 10 November akhirnya ditetapkan sebagai hari pahlawan oleh Presiden Soekarno setahun kemudian.
Sumber foto : Imperial War Museum