Banyak imam masjid yang membuat-buat tangisan mereka sampai keterlaluan. Ada yang berusaha menangis dan mengeluarkannya dengan paksaan. Berbeda sekali dengan keadaan para salaf yang menahan tangisan dan berusaha menghentikannya semampu mereka.
Kenyataan ini mengingatkan saya kepada penuturan Syaikh Abdullah Azzam. Beliau berkata, "Barang siapa mampu menahan tangisnya, namun dia tidak menahannya,maka sungguh dikhawatirkan ia sedang berbuat riya'."
Seorang Qari', saat berada di tengah keramaian, seyogianyalah menyembunyikan tangisan semampunya. Sebaliknya, jika sedang sendirian, silahkan saja dia menangis sepuasnya. Akan tetapi, setelah itu dia tidak perlu membicarakannya.
Saya juga pernah menyaksikan sebagian imam-imam yang bersiap-siap untuk menangis sebelum shalat! Bahkan, saya juga menyaksikan ada orang yang mempersilahkan imam untuk shalat seraya berkata "Menangislah, wahai Syaikh!".
Saya pernah menyaksikan ada yang menangis di saat membaca Al-Fatihah pada rakaat yang pertama! Bahkan saya pernah menyaksikan ada yang kesulitan mengumandangkan Takbiratul Ihram karena tangisannya!
Tidak! Para salaf tidak pernah seperti itu. Mereka menangis pada tempatnya. Mereka menangis karena memang tak bisa lagi menahannya, dan bukannya tangisan yang dibuat-buat. Mereka menangis lantaran kandungan ayat-ayat yang merasuk ke dalam kalbu; buah kekhusukan dan sensivitas hati mereka. Mereka tidak menangis karena riya' atau sum'ah (ingin didengar orang lain).
Saya juga pernah menyaksikan orang yang bacaannya hampir tak dapat dipahami karena kebanyakan tangis. Demi Allah! Seandainya dia tidak bisa menahannya, tentulah kami memakluminya apabila surah Al-Fatihah dibacanya dengan baik.
Tetapi yang saya saksikan adalah tangisan yang dibuat-buat. Dia menangis saat membaca semua ayat Al-Qur'an, tidak peduli apakah itu ayat-ayat ancaman, ayat-ayat harapan, ayat-ayat perceraian, bahkan sampai ayat-ayat yang membahas tentang warisan!
Saya jadi teringat sebuah cerita yang dituturkan Ibnul Jauzi. "Abu 'Utsman Al-Jahizh menyatakan bahwa Yahya bin Ja'far pernah menyampaikan kepadanya, 'Saya punya tetangga yang berasal dari Persia. Sepanjang malam ia menangis. Suatu malam tangisannya membuatku terbangun. Ia terisak-isak sambil memukuli kepalanya dan dadanya. Ia melantunkan satu ayat berulang-ulang. Saya ingin melihat apa yang terjadi dengannya.Saya bergumam,"Aku harus mendengar ayat apa yang telah membuatnya seperti itu dan membuat kantukku lenyap'. Saya berusaha untuk mendengar ayat yang dibacanya dengan seksama.
Ternyata ayat itu adalah :
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, 'Haid itu adalah penyakit..." (Al Baqarah : 222)"
Kira-kira bagian yang mana dari ayat itu yang membuatnya menangis? Apakah dia menangis karena istrinya tidak bisa haid? Astaghfirullah!
Suatu ketika saya juga pernah shalat di belakang salah seorang dari mereka. Ia meratap sepanjang shalat. Beberapa orang yang shalat di belakangnya juga menangis, berdoa dan meratap di dalam shalat sepanjang pembacaan ayat Al-Qur'an. Bahkan ada yang mengeluarkan sapu tangan dari saku mereka dan mengusap wajah mereka. Mereka bergerak-gerak, tidak bisa tenang.
Saya sempat bertanya kepada salah seorang tetangga imam masjid yang terkenal tangisannya itu, bagaimana keadaannya di luar shalat. Ia menjawab,"Sungguh memalukan! Orangnya tidak pernah berhenti dari canda dan tawa!". Inilah yang disebut dengan kepribadian yang rusak.
Alangkah indahnya petuah sahabat mulia, Qari' Agung, Abdullah bin Mas'ud, "Seorang pengemban Al-Qur'an seyogianya diketahui di malah hari saat orang-orang sedang tidur, diketahui di siang hari saat orang-orang tidak berpuasa, diketahui dengan kesedihannya saat orang-orang bergembira, dengan tangisannya saat orang-orang tertawa, dengan diamnya saat orang-orang banyak bergaul dan dengan khusuknya saat orang-orang sibuk. Seorang pengemban Al-Qur'an seyogianya banyak menangis, bersedih, santun, bijaksana, alim dan banyak diam. Seorang pengemban Al-Qur'an seyogianya tidak kasar, tidak lalai, tidak suka berteriak, tidak suka bersuara keras dan tidak berlidah tajam."
Dikutip dari Mukadimah buku Airmata Pembaca Al-Quran, penulis Muhammad Syauman Ar-Ramli.
Kenyataan ini mengingatkan saya kepada penuturan Syaikh Abdullah Azzam. Beliau berkata, "Barang siapa mampu menahan tangisnya, namun dia tidak menahannya,maka sungguh dikhawatirkan ia sedang berbuat riya'."
Seorang Qari', saat berada di tengah keramaian, seyogianyalah menyembunyikan tangisan semampunya. Sebaliknya, jika sedang sendirian, silahkan saja dia menangis sepuasnya. Akan tetapi, setelah itu dia tidak perlu membicarakannya.
Saya juga pernah menyaksikan sebagian imam-imam yang bersiap-siap untuk menangis sebelum shalat! Bahkan, saya juga menyaksikan ada orang yang mempersilahkan imam untuk shalat seraya berkata "Menangislah, wahai Syaikh!".
Saya pernah menyaksikan ada yang menangis di saat membaca Al-Fatihah pada rakaat yang pertama! Bahkan saya pernah menyaksikan ada yang kesulitan mengumandangkan Takbiratul Ihram karena tangisannya!
Tidak! Para salaf tidak pernah seperti itu. Mereka menangis pada tempatnya. Mereka menangis karena memang tak bisa lagi menahannya, dan bukannya tangisan yang dibuat-buat. Mereka menangis lantaran kandungan ayat-ayat yang merasuk ke dalam kalbu; buah kekhusukan dan sensivitas hati mereka. Mereka tidak menangis karena riya' atau sum'ah (ingin didengar orang lain).
Saya juga pernah menyaksikan orang yang bacaannya hampir tak dapat dipahami karena kebanyakan tangis. Demi Allah! Seandainya dia tidak bisa menahannya, tentulah kami memakluminya apabila surah Al-Fatihah dibacanya dengan baik.
Tetapi yang saya saksikan adalah tangisan yang dibuat-buat. Dia menangis saat membaca semua ayat Al-Qur'an, tidak peduli apakah itu ayat-ayat ancaman, ayat-ayat harapan, ayat-ayat perceraian, bahkan sampai ayat-ayat yang membahas tentang warisan!
Saya jadi teringat sebuah cerita yang dituturkan Ibnul Jauzi. "Abu 'Utsman Al-Jahizh menyatakan bahwa Yahya bin Ja'far pernah menyampaikan kepadanya, 'Saya punya tetangga yang berasal dari Persia. Sepanjang malam ia menangis. Suatu malam tangisannya membuatku terbangun. Ia terisak-isak sambil memukuli kepalanya dan dadanya. Ia melantunkan satu ayat berulang-ulang. Saya ingin melihat apa yang terjadi dengannya.Saya bergumam,"Aku harus mendengar ayat apa yang telah membuatnya seperti itu dan membuat kantukku lenyap'. Saya berusaha untuk mendengar ayat yang dibacanya dengan seksama.
Ternyata ayat itu adalah :
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, 'Haid itu adalah penyakit..." (Al Baqarah : 222)"
Kira-kira bagian yang mana dari ayat itu yang membuatnya menangis? Apakah dia menangis karena istrinya tidak bisa haid? Astaghfirullah!
Suatu ketika saya juga pernah shalat di belakang salah seorang dari mereka. Ia meratap sepanjang shalat. Beberapa orang yang shalat di belakangnya juga menangis, berdoa dan meratap di dalam shalat sepanjang pembacaan ayat Al-Qur'an. Bahkan ada yang mengeluarkan sapu tangan dari saku mereka dan mengusap wajah mereka. Mereka bergerak-gerak, tidak bisa tenang.
Saya sempat bertanya kepada salah seorang tetangga imam masjid yang terkenal tangisannya itu, bagaimana keadaannya di luar shalat. Ia menjawab,"Sungguh memalukan! Orangnya tidak pernah berhenti dari canda dan tawa!". Inilah yang disebut dengan kepribadian yang rusak.
Alangkah indahnya petuah sahabat mulia, Qari' Agung, Abdullah bin Mas'ud, "Seorang pengemban Al-Qur'an seyogianya diketahui di malah hari saat orang-orang sedang tidur, diketahui di siang hari saat orang-orang tidak berpuasa, diketahui dengan kesedihannya saat orang-orang bergembira, dengan tangisannya saat orang-orang tertawa, dengan diamnya saat orang-orang banyak bergaul dan dengan khusuknya saat orang-orang sibuk. Seorang pengemban Al-Qur'an seyogianya banyak menangis, bersedih, santun, bijaksana, alim dan banyak diam. Seorang pengemban Al-Qur'an seyogianya tidak kasar, tidak lalai, tidak suka berteriak, tidak suka bersuara keras dan tidak berlidah tajam."
Dikutip dari Mukadimah buku Airmata Pembaca Al-Quran, penulis Muhammad Syauman Ar-Ramli.