Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan

14 Desember 2017

Pekerja Renovasi Masjidil Haram Temukan Sumur Zamzam Baru, Benarkah?

Tipsiana.com - Para pekerja renovasi Masjidil Haram di Mekkah membuat heboh dunia maya setelah mengunggah video yang memperlihatkan penemuan baru sumur tua berair jernih di dekat sumur Zamzam. Mereka mengklaim sumur tersebut adalah penemuan sumber baru air Zamzam.

Penemuan sumber mata air baru ini berjarak hanya 40 meter dari sumber alami sumur Zamzam. Sumur berdiameter sekitar 60 cm yang berisi air jernih nyaris hingga ke bibir sumur. Pekerja yang merekam temuannya juga meminum air sumur untuk membuktikan air tersebut bisa diminum.


Rekaman video sumber mata air baru itu tampaknya diunggah oleh salah seorang pekerja penggalian yang tengah berlangsung sebagai bagian dari proses renovasi Masjidil Haram. Klaim yang menyebutkan sumur itu adalah sumber baru mata air Zamzam akhirnya membuat Otoritas Masjidil Haram angkat bicara. Benarkah?

Juru bicara Kantor Kepresidenan untuk Urusan Dua Masjid Suci; Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Ahmad Al-Mansouri, membantah laporan penemuan mata air baru yang berhubungan dengan sumur Zamzam. Ia menyatakan bahwa sumber mata air yang diperlihatkan di video tersebut hanyalah bagian dari sebuah sumur tua yang kebetulan berdekatan dengan sumur Zamzam.


"Sumur tua itu tidak ada hubungannya dengan sumur Zamzam," Al-Mansouri memberikan klarifikasinya. Klarifikasi ini dimuat di laman saudigazette.com.sa, kemarin (12/14/17).

Meski telah dipastikan tak ada hubungannya dengan sumur Zamzam, hingga saat ini warganet masih banyak yang membagikan kiriman tersebut sebagai penemuan mata air Zamzam yang baru.

12 Desember 2017

Salahuddin Ayyubi, Sang Pahlawan Pembebas Yerussalem

Tipsiana.com - Salahuddin Ayyubi (1138 - 1193), yang di dunia barat lebih dikenal dengan sebutan Saladin, adalah figur langka dalam sejarah emas Timur Tengah. Ia begitu dihormati oleh dunia Kristen, Yahudi, dan tentu saja dunia Islam.

Namanya begitu termasyhur karena berhasil mengalahkan Tentara Salib pada Pertempuran Hattin dan berhasil merebut kembali Yerussalam pada tahun 1187. Seperti manusia lainnya, ia memiliki kekurangan, namun sejarah menjunjungnya sebagai teladan dari seorang ksatria yang penuh belas kasih dan kemurahan hati.


Sejarawan asal Perancis, Rene Grousset mengatakan bahwa kesalehan dan kemurahan hati Salahuddin tidak hanya dikenal di dunia Muslim, tapi juga di dunia barat. Ia memang seorang Sultan Muslim, tapi ia telah menjelma sebagai figur universal. Ia adalah kombinasi menarik dari seorang penguasa yang memiliki sikap tegas pada lawan namun lembut dan penuh belas kasih pada rakyat dan mereka yang lemah. Lebih dari itu, jiwa sportif Salahuddin pada lawan selama pertempuran membuatnya begitu dihormati.

Selama penaklukan Eropa terhadap Yerussalem di tahun 1099, Tentara Salib membantai penduduk Muslim dan Yahudi, termasuk perempuan dan anak-anak. Menurut penuturan ahli sejarah Michaud,  penduduk kota Yerussalem dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah. Yerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan juga banyak yang masuk masjid.

Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat, mengulangi lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu pengungsi yang lari tunggang langgang. Raymond d’ Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa “Di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali kekang kuda prajurit”.

Salahuddin Al-Ayyubi memasuki Kota Yerussalem

Delapan puluh delapan tahun kemudian, Salahuddin merebut kembali Yerussalem. Penduduk kota yang beragama Kristen takut akan keselamatan jiwanya karena mereka yakin bahwa para tentara Muslim akan membalas kematian rakyatnya dengan kejam, seperti ketika Yerussalem direbut tentara Salib.

Namun hal yang tak terduga terjadi, Salahuddin ternyata tak membanjiri Yerussalem dengan darah penduduknya. Tak ada satu pun penduduk yang dibunuh. Ia malah membebaskan para orangtua, para janda dan anak-anak untuk memastikan mereka tak dijual sebagai budak. Selama 40 hari, ia menjamin para pengungsi Kristen bisa sampai ketempat tujuan yang aman dan membiarkan mereka kembali ke negara masing-masing dengan harta benda yang bisa dibawa mereka.




Ia bahkan memberi pengawal khusus yang menjaga para pengungsi wanita untuk memastikan mereka mendapatkan perlindungan selama perjalanannya.

Ia mempersilahkan orang-orang Kristen asal Timur untuk tinggal di Yerussalem dan mengembalikan hak setiap orang Yahudi untuk mengunjungi dan bermukim di Yerusalem. Salahuddin menaklukkan kota Yerussalem pada hari Sabtu. Keesokan harinya, pada hari Minggu, ia memerintahkan seluruh Gereja di Yerussalem dibuka agar umat Kristiani dapat beribadah.

Tindakan sangat terpuji Salahuddin tak hanya pada penduduk sipil. Dalam pertempuran ia juga memiliki jiwa besar dan sangat menghormati lawannya. Pada akhir pertempuran Hittin, Salahuddin berhasil menangkap dua pimpinan Tentara Salib, Guy of Lusignan, suami Ratu Kerajaan Yerussalem, dan Raymond III, Pangeran Tripoli. Salahuddin memenuhi sumpahnya untuk mengeksekusi Raymond sebagai hukuman atas pembantaian kafilah Muslim dan para jemaah haji, selama periode genjatan senjata antara Muslim dan Tentara Salib.

'Saladin dan Guy de Lusignan' yang menggambarkan berakhirnya Pertempuran Hattin

Guy of Lusignan kuatir akan bernasib sama setelah menyaksikan eksekusi tersebut, namun Salahuddin mengampuni jiwa tawanannya dengan mengatakan, ".. bukan hal yang biasa bagi seorang raja membunuh raja lainnya, tapi orang tersebut telah melampui batas."

Tindakan Salahuddin dan interaksinya dengan orang-orang Kristen juga menjungkir balikkan gagasan dunia Barat bahwa Barat dan Islam terjerat dalam 'benturan peradaban'.

Setelah Yerussalem kembali ke pangkuan kerajaan Islam, Eropa tak tinggal diam, mereka mengirimkan kembali bala tentara Pasukan Salib yang dipimpin oleh Raja Richard the Lionheart. Terjadi pertempuran panjang dan besar antara pasukan Richard the Lionheart dengan Salahuddin Ayyubi. Dan beberapa peristiwa terpuji terjadi disela pertempuran.

Lukisan Richard the Lionheart melawan Salahuddin Al-Ayyubi di sebuah manuskrip abad ke-13

Ketika Raja Richard the Lionheart tertinggal tanpa kuda di medan perang, Salahuddin tak memanfaatkan situasi tersebut untuk mengejar dan membunuh lawannya. Ia malah mengirimkan dua ekor kuda tunggangan agar sang lawan bisa dalam posisi seimbang.

Dan saat Richard jatuh sakit, Salahuddin mengirimkan sekeranjang buah dan dokter terbaik untuk mempercepat pemulihannya. Ketika Raja Richard perlu kembali ke Eropa untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di tengah Perang Salib ketiga, Salahuddin menegosiasikan sebuah perjanjian yang adil.


Seorang Novelis asal Inggris, Percy Newby, dalam bukunya Saladin in His Time menuturkan, "Tentara Salib terpesona oleh seorang pemimpin Muslim yang memiliki kebajikan yang mereka anggap selayaknya seorang Kristen."

Salahuddin Ayyubi membuka sebuah jendela kekayaan sejarah dan kedamaian Islam. Ia adalah contoh tentang bagaimana harusnya kita bertindak di masa-masa yang berbahaya dan penuh ketakutan.

Bagi Salahuddin,"Kemenangan sejati adalah bagaimana mengubah hati lawan-lawan mu dengan kelembutan dan kebaikan hati."

Dunia sedang menyaksikan pertumpahan darah orang-orang sipil yang tak berdosa di Timur tengah ditangan para teroris dan penjajah. Namun kata-kata Salahuddin dari abad ke-12 dapat memberi pelajaran berharga pada kita semua.

"Kuperingatkan kepada kalian untuk tidak menumpahkan darah, tidak terlibat didalamnya atau membuat kebiasaan itu, karena darah tak pernah tidur."

Ia memang cinta damai, tapi begitu kedamaian terusik oleh tirani, maka ia bangkit dengan semangat baja dan tak kenal menyerah. Salahuddin adalah ahli stategi perang terbaik di zamannya. Setelah perang yang panjang seperti tak berujung, pada tahun 1192 Raja Richard akhirnya melakukan perjanjian damai dengan Salahuddin dan kembali ke Eropa dengan penghormatan tertinggi kepada lawan tandingnya, Salahuddin al-Ayyubi.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Salahuddin Al-Ayyubi

Beberapa bulan setelah berakhirnya Perang Salib, ia kembali menghadap Sang Pencipta. Dibalik rasa kehilangan mendalam seluruh dunia Muslim, sang Sultan kembali membuat orang-orang terpana. Ketika petugas kerajaan menginventarisir harta warisan almarhum, mereka hanya menemukan uang 1 Dinar emas dan 36 Dirham perak sebagai harta pribadinya.

Seorang raja yang menguasai kerajaan yang membentang sepanjang barat pesisir Jazirah Arab dan Mesir, hanya memiliki sedikit harta. Bahkan uang tersebut tak mampu membiayai pemakamannya sendiri. Selama hidupnya Ia ternyata memakai uang kerajaan hanya untuk kemaslahatan umat, tanpa sedikitpun memikirkan diri sendiri.

Kita rindu akan sosok pemimpin seperti beliau. Semoga akan tiba saatnya seorang pahlawan sejati kembali datang membebaskan Yerussalem dari belenggu penjajahan.

Semoga.

Untuk versi lengkap kisah Shalahuddin Al-Ayyubi, Anda bisa membacanya disini :
Shalahuddin Al Ayyubi, Pahlawan Islam dari Seratus Medan Pertempuran

Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?

Tipsiana.com - Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab? Setiap saat, lahir orang-orang alim yang mampu menghapal isi kandungan Kitab Suci Al-Quran. Hatta, orang buta atau anak kecil. Itulah bedanya dengan Kitab Suci lain.

“Mengapa Al-Quran diturunkan kepada seorang Nabi yang miskin dan buta huruf (ummiy)? Mengapa tidak diberikan kepada pembesar Mekkah maupun Tha’if saja?” Pertanyaan seperti ini sering terjadi. Sama hal nya dengan pernyataan, “Mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab?” Banyak dalil yang mengungkap hal ini. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 26: 198-199, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43: 3, 44: 58, dan 46 : 12.


Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam “bahasa Arab”. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan “tidak universal”. Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak Allah. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan secara ilmiah.

Pertama, sampai hari ini, bahasa yang berasal dari rumpun Semit yang masih bertahan sempurna adalah bahasa Arab. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama.

Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîk al-Lughât al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani.

Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif.

Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. (Prof. Dr. M.M. Al-A‘zamî, The History of The Qur’ânic Text from Revelation to Compilation (edisi Indonesia), terjemah: Sohirin Solihin, dkk., GIP, 2005, hlm. 259).

New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa “Yunani” juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’?

Kedua, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan: (1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain. (Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag, edisi revisi, Juli 1989, hlm. 375 (foot-note).

Ketiga, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan “syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya “pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”.


Tiga poin itu berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur, yakni Risalah (Islam), Rasul (Muhammad SAW) dan Kitab (Al-Qur’an)). (Lihat, Prof. Dr. Thaha Musthafa Abu Karisyah, Dawr al-Azhar wa Jami‘atihi fi Khidmat al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Turats al-Islamiy, dalam buku Nadwat al-Lughah al-‘Arabiyyah, bayna al-Waqi‘ wa al-Ma’mul, 2001, hlm. 42).

Karena Islam itu satu risalah (misi) yang “universal” dan “kekal”, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti yang Ia jelaskan, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9).

Keempat, menurut Syeikhu’l-Islam, Ibnu Taimiyah, “Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani saja. Dan Musa ‘alayhissalam tidak berbicara kecuali dengan bahasa itu. Begitu juga halnya dengan al-Masih: tidak berbicara tentang Taurat dan Injil serta perkara lain kecuali dengan bahasa Ibrani. Begitu juga dengan seluruh kitab. Ia tidak diturunkan kecuali dengan “satu bahasa” (bilisanin wahidin): dengan bahasa yang dengannya diturunkan kitab-kitab tersebut dan bahasa kaumnya yang diseru oleh para rasul.

Seluruh para Nabi, menyeru manusia lewat bahasa kaumnya yang mereka ketahui. Setelah itu, kitab-kitab dan perkataan para Nabi itu disampaikan: apakah diterjemahkan untuk mereka yang tidak tahu bahasa kitab tersebut, atau orang-orang belajar bahasa kitab tersebut sehingga mereka mengerti makna-maknanya. Atau, seorang utusan menjelaskan makna-makna apa yang dengannya ia diutus oleh Rasul dengan bahasanya…” (Lihat, Ibnu Taimiyah, al-Jawb al-Shahih liman Baddala Dina’l-Masih (Jawaban Yang Benar, Bagi Perubah Agama Kristus), (Cairo: Dar Ibnu al-Haytsam, 2003, jilid 1 (2 jilid), hlm. 188-189).

Sebagaimana Taurat dan Injil, Al-Quran diturunkan dalam satu bahasa, bahasa kaumnya. Bedanya, kenabian yang ada sebelum Islam, hanya diperuntukkan pada kaum tertentu atau zaman tertentu (lokalitas) saja. Nuh misalnya, hanya diutus kepada kaumnya (QS. 7: 59); Hud kepada kaumnya (QS. 7: 65); Shaleh kepada kaumnya (QS. 7: 73); Luth kepada kaumnya (QS. 7: 80); Syu‘aib kepada kaumnya (QS. 7: 85); dan Musa kepada Fir‘aun dan para punggawanya (QS. 7: 103).

Dakwah Nabi SAW di “Ummu’l-Qura”, sebagaimana arti yang sudah dijelaskan panjang lebar, bukan hanya dalam pengertian Mekkah semata. Juga bukan hanya untuk orang Quraisy, tidak pula untuk Jazirah Arabia saja, tapi untuk seluruh alam. (Baca QS. 25: 1, 34: 28, 7: 158, dan 9: 33).

Jika kalangan Nasrani menganggap Al-Quran tidak universal, maka, seharusnya yang lebih tidak universal justru Bible.

Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam menghapalkannya. Ini berbeda dengan kitab suci lain, sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan dalam menghapalkannya (tahfiz). Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu menghapalkannya secara cermat dan tepat. Hatta, ia orang buta atau anak kecil sekalipun. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.

Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir dalam sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.

Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah mulai banyak dijadikan sebagai pesantren-pesantran formal.

Sebaliknya, bagi kita, belum pernah terdengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka. Bahkan termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Saya kira Anda lebih tahu jawabannya. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi, saat tulisan ini dibuat pada 2008, penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir dan Ulumul Quran di Universitas Al-Azhar, peminat Qur’anic Studies and Christology.

4 Desember 2017

Shalahuddin Al Ayyubi, Pahlawan Islam dari Seratus Medan Pertempuran

Tipsiana.com - Beberapa hari yang lalu, kita baru saja merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tak salah kali ini kita akan menceritakan sosok yang mendengungkan peringatan Maulid Nabi SAW untuk pertama kalinya. Ialah Shalahuddin Al-Ayyubi. Dunia barat mengenalnya sebagai Saladin. Ia adalah raja legendaris yang mampu merebut kembali kota Jerussalam yang selama 100 tahun dijajah Kristen. Ia membebaskan Jerussalaem dengan cara yang elegan yang terus dikenang baik oleh kawan maupun lawan hingga kini.

Ia mampu membangkitkan ghirah ummat untuk bangkit dari keterpurukan dengan cara menggali kembali nilai-nilai keteladanan Nabi SAW. Tulisan yang dinukil dari hudzhaifah.org ini akan membawa kita ke masa bangkitnya Islam dengan gemilang dan penuh martabat.


Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1137 – 1193 M), namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui “Siratun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris.

Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.

Seorang penulis Barat berkata, “Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin”.


“Setiap cara dan jalan ditempuh”, kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.

Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus.

“Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar” demikian tulis pengarang Perancis Michaud.

Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang mereka lalui” kata Marbaid.

Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut keterangan penulis Mill “terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.

Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.

John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: “Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk “Kutub Khanah” (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu. “Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,” kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.

Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.

Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?

Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.

Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud “memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai tinggi”.

Ibnu Aziz AI Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: “Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda”.

Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah.

Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir.

Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh.

Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.

Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh. dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.

Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: “Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan.” Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.

Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.

Di tahun 1187 Shalahuddin, Sultan Mesir dan Suriah, menghancurkan tentara tentara salib Yerusalem di Tanduk Hattin, Palestina.


Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.

Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d’ Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa “di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit”.


Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. “Semua tawanan” kata Michaud, “yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat”.

Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.

Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: “Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan”.

Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.

Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: “Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup”.

Shalahuddin Al Ayyubi memasuki kota Jerussalem

Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebelumnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu.

Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. “Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem” kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada mereka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud “Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya”, kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.

Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.

'Saladin dan Guy de Lusignan' yang menggambarkan berakhirnya Pertempuran Hattin

Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.

Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin.

Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.

Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai yang diterima oleh Sultan. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.

“Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu” tulis Michaud “di mana gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam pertempuran ini.

Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.

Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. “Hari itu merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin” demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan.

Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. “Di Eropa” tulis Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.

Semoga Allah melapangkan kuburnya.

Disarikan dari:
1. Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat: Suara Masjid No. 91, Jumadil Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M)
2. The Preaching of Islam, oleh Thomas W. Arnold.

NB:
– “Shalahuddin”, kadang ditulis dengan ejaan: Saladin (biasanya oleh Barat), Sholahuddin, atau Salahuddin.
– Sineas Barat membuat film berjudul “Kingdom of Heaven”. Film tersebut, terlepas benar atau tidaknya isi cerita, berkaitan dengan tokoh Shalahuddin ini.
– Buku yang juga membahas tentang salahuddin adalah “Perang Suci, Penulis :Karen Amstrong”.

28 November 2017

Tertangkap Tangan, Begini Nasib Pencuri Kotak Infaq Masjid

Tipsiana.com - Tindakan kejahatan bisa terjadi dimanapun tak terkecuali rumah ibadah. Masjid yang merupakan tempat suci untuk beribadah pun tak luput dari incaran penjahat. Lokasi yang sepi ketika setelah atau sebelum masuk waktu sholat, dimanfaatkan mereka untuk menggasak barang berharga dan isi kotak infak masjid.

Seorang pria tertangkap tangan sedang mencuri uang dari kotak infak di sebuah Masjid di kota Medan. Pria tersebut berhasil diringkus setelah penjaga masjid melakukan pengintaian selama lebih dari setengah jam karena curiga dengan gerak-geriknya.


Pria paruh baya ini pun tak berkutik. Setelah diinterogasi, ia mengaku ternyata telah beberapa kali melakukan pencurian kotak infak di masjid tersebut. Spontan pengurus masjid emosi mendengar pengakuan tersebut. Lalu bagaimana nasib pelaku?

Pada umumnya, pelaku yang tertangkap tangan mencuri akan menjadi bulan-bulanan massa yang geram. Namun berbeda dengan yang satu ini. Setelah tertangkap tangan dan akhirnya mengaku mencuri, pelaku malah diminta untuk melakukan sumpah tobat oleh pengurus masjid tanpa dihakimi secara fisik.


Video yang merekam detik-detik pengucapan sumpah bertobat sang maling ini pun menjadi sangat menarik. Karena tak hanya harus di sumpah dan membuat surat pernyataan tak mengulangi, si pelaku juga menerima nasehat dan diminta meminta maaf kepada warga sekitar atas perbuatannya. Sebuah cara persuasif yang layak diapresiasi.

Peristiwa terjadi pada 27 November kemarin siang, ketika Ustadz Mhd. Ali Bakrie, nazir Masjid Muslimin jalan Karya Jaya Medan datang melapor kepada Sekretaris BKM, kalau ada orang mencurigakan sedang berada di dalam Masjid. Setelah mereka mengintai dari lantai dua masjid, sesaat kemudian datang nazir lainnya, Ustadz Hardiansyah yang baru pulang mengajar.


Tahu ada orang yang masuk ke dalam masjid, pelaku pura-pura menjalankan sholat untuk kedua kalinya sambil melihat situasi. Untuk memancing pelaku, Ustad Hardiansyah pun pura-pura keluar masjid agar pelaku mengira tak ada lagi orang di lantai atas. Setelah dirasa aman, ia mulai beraksi mencongkel kotak infak yang berada di lantai 1, tanpa sadar sedang diawasi pengurus masjid di lantai 2.

Begitu kotak terbuka dengan suara keras, spontan pengurus berlari kelantai bawah dan berhasil meringkus pelaku. Awalnya ia berkelit, tapi setelah diinterogasi beberapa saat, ia pun mengaku.


"Mengingat usianya yang sudah 50 tahun, kami memilih tak menyerahkannya ke polisi. Kami ingin ia menyesali perbuatannya dengan bersumpah untuk bertobat," Ustad Hardiansyah menjelaskan alasan mengapa pelaku tidak dibawa ke pihak berwajib.

"Kami juga sengaja tak memanggil warga sekitar saat kejadian. Massa seringkali tidak terkontrol dan kami kuatir ia malah akan dihakimi massa seperti yang terjadi dimana-mana."


Pelaku diminta mengucapkan sumpah tobat dan diberi nasehat oleh pengurus masjid. Ia juga diminta meminta maaf kepada masyarakat sekitar, tapi awalnya menolak. Ia takut dihakimi massa.

Setelah diberi penjelasan tegas dan diyakinkan akan dilindungi dari amuk massa. Pelaku akhirnya bersedia meminta maaf kepada masyarakat.


"Pelaku mengaku sudah 2 kali mencuri di masjid ini, tapi saya mengenalinya saat bulan puasa lalu ia juga pernah kemari dan uang di kotak infak juga hilang," Ustad Ali Bakrie bercerita.

Tentu tak semua sepakat dengan tindakan para nazir masjid tersebut. Ada yang menganggap pelaku adalah virus masyarakat yang harus diberi pelajaran dan tak pantas dimaafkan. Namun para ustad tersebut yakin, pelajaran paling berharga bisa didapat dari sikap memaafkan dan memberi kesempatan bertobat.

11 November 2017

Hamka Muda Itu Bernama Ustad Abdul Somad

Tipsiana.com - Tulisan sederhana ini bukan bermaksud membanding-bandingkan, melebihkan yang satu mengurangi yang lain, memuji-muji dan mengangkat yang satu merendahkan yang lain. Antara pribadi Buya Hamka (1908-1981) dengan seorang ustad yang sekarang sedang naik daun di dunia youtube, bernama Ustad Abdul Somad (selanjutnya ditulis UAS). Melainkan hendak menampilkan nilai-nilai apa saja yang bisa kita petik dari kepribadian kedua alim tersebut, untuk dijadikan teladan bagi umat.


Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), meraih gelar Dr HC (doktor honoris causa) atas pemberian universitas Islam tertua di dunia, Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Berasal dari keluarga ulama pula, bahkan ayahnya pun mendapatkan gelar Dr HC dari universitas yang sama. Ayah dan anak yang sama-sama meraih gelar kehormatan dari kampus Islam ternama. Sehingga ayah Hamka yang bernama Abdul Karim Amrullah, oleh masyarakat kampungnya di Maninjau-Agam, dipanggil dengan sebutan “Inyiak Deer” (lebih lanjut baca buku “Ayahku” karya Hamka, 1982).

Pribadi Hamka adalah seorang ulama cum sastrawan dan politisi, sudah menjadi sosok panutan umat Islam di zamannya. Tak hanya di Indonesia, nama besar beliau menggema di Asia Tenggara. Bahkan mantan perdana menteri Malaysia, Tun Abdul Razak kala meninggalnya Buya Hamka mengatakan, “Hamka tidak hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”

Buya Hamka telah menunjukkan kemampuan menulisnya sejak usia 17 tahun. Sejak itu sampai Buya meninggal, beliau sudah menulis 118 buku; bertemakan agama, sejarah, novel, biografi, adat Minangkabau, politik, ideologi, negara, filsafat dan tafsir Alquran yang berjilid-jilid (Rusydi Hamka, 2017). Sungguh ini bentuk produktivitas yang luar biasa, di tengah mesin cetak, perangkat penerbitan dan mesin ketik belum secanggih dan sebanyak zaman kini.

Lebih mengagumkan lagi, Buya adalah sosok otodidak dalam proses perkembangan intelektualnya yang multidisplin dan unik. Otodidak dalam artian, beliau tidak pernah duduk di bangku sekolah formal sampai jenjang universitas (Irfan Hamka, 2013). Bahkan SD pun hanya dialaminya selama 3 tahun, lalu berhenti.

Walaupun untuk pengetahuan agama, modal dasar dari ayahnya, seorang ulama pembaharu Islam di Indonesia dan pendiri Sumatera Thawalib (lebih lanjut lihat “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, Deliar Noer, 1982) sudah cukup kiranya sebagai pijakan dasar dalam memahami khazanah keilmuan Islam.

Hamka kemudian dikenal dengan sikapnya yang gigih, tegas dan lurus dalam berprinsip. Ketika menjabat sebagai ketua umum MUI pusat pertama tahun 1975-1981, Hamka dengan tegas mengeluarkan fatwa terkait pelarangan (haram) perayaan Natal bersama di masyarakat. Tentulah fatwa ini menimbulkan gejolak, khususnya bagi pemerintah.

Tapi, Hamka tetaplah Hamka, yang tegak punggungnya, berpijak pada prinsip yang lurus dan tak bisa dibeli. Sebagai seorang ulama, beliau sering berpetuah, “Menjadi ulama itu seperti kue bika, dipanggang dari atas (intervensi/kemauan pemerintah-red), dipanggang dari bawah (aspirasi umat-red).” Prinsip lurusnya Buya tadi dibuktikan dengan pengunduran dirinya sebagai ketua umum MUI pusat, karena perbedaan pandangan dengan pemerintah Soeharto.

Setiap hari setelah shalat Subuh berjamaah, Buya selalu memberikan kuliah Subuh di depan para jamaahnya, yang memadati Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru. Seperti yang diungkapkan wartawan senior Rosihan Anwar (1922-2011). “...Di samping itu, pengajian dan kuliah Subuh berkembang di berbagai masjid. Akan tetapi, agaknya kuliah Subuh yang paling mendapat minat, ialah yang dipimpin oleh Hamka sendiri di Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru. Tafsiran Alquran yang diberikannya di kuliah Subuh itu memperoleh pendengar yang banyak...” (Rusydi Hamka, hal. 181).

Jamaah selalu memadati pengajian kuliah Subuh tersebut. Model ceramahnya sangat klasik. Diawali ceramah, selepas itu para jamaah diberikan kesempatan bertanya, baik secara langsung maupun melalui kertas yang sudah ditulis pertanyaan. Mendengar ceramahnya, kita akan mudah ingat karena bahasa dan logat Buya yang khas, suaranya yang agak parau, ditambah dengan seringnya Buya mengutip pepatah-petitih tradisional Minang (Melayu), jika hendak menerangkan sebuah perkara.

Ditambah lagi, wawasan keilmuan Islam yang dalam, Buya memang mampu membuat suatu soalan menjadi terlihat mudah, tapi bukan untuk menyepelekan. Ketika menjawab perihal hukum fiqh yang tinggi tingkat khilafiyahnya, Buya menerangkan ragam kalam ulama, seraya tak lupa mengutip ayat Quran dan Hadist. Buya adalah sosok yang sangat toleran terhadap perbedaan fiqh, masalah-masalah furu’iyah.

Kisah yang cukup dikenal masyarakat adalah, di saat Buya bertamu ke kediaman ulama Betawi KH Abdullah Syafii di daerah Tebet Jakarta Selatan. Kala itu Buya diminta menjadi imam shalat Subuh oleh sohibul bait, Buya lantas maju menjadi imam. KH Abdullah Syafii berkeyakinan qunut Subuh hukumnya sunah ab’ad dalam Madzhab Syafii, hukumnya seperti duduk tahiyat awal ketika salat Zuhur/Ashar/Maghrib/Isya.

Sebagai tokoh Muhammadiyah yang berkeyakinan tidak ada qunut Subuh, namun dengan senang hati Buya melakukan qunut Subuh demi menghormati sang tuan rumah. Buya menghormati orang yang berbeda prinsip fiqh dengan dirinya, bukan dengan cerita, tetapi melalui tindakan nyata.

Begitu pula ketika K. Abdullah Syafii bertamu ke Buya di Masjid Al-Azhar pada suatu Jumat. Ketika hendak khutbah, Buya mempersilakan kiai gaek ini menjadi katib Jumat, padahal jadwal katib sebenarnya adalah Buya sendiri. Bahkan, Buya meminta muadzin untuk azan Jumat sebanyak 2 kali, sebagaimana tradisi fiqh ulama-ulama madzhab Syafii. Semua itu Buya lakukan karena menghargai perbedaan madzhab fiqh, perbedaan yang sifatnya furuiyah belaka, bukan prinsip (ushul) baginya.

Begitulah wajah toleransi Buya terhadap perbedaan khilafiyah. Sebab baginya, persatuan umat lebih penting dan mendesak ketimbang memperlebar jurang perbedaan fiqh. Bahkan terhadap “musuh” politiknya sendiri Buya Hamka memperlakukannya dengan kasih sayang. Singkat cerita, Muhammad Yamin adalah sosok tokoh nasional yang sangat membenci Buya Hamka, karena Buya yang Masyumi dianggap mendukung (terlibat) pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah.

Tapi, ketika Yamin sedang sakit-sakitan hendak meninggal, dia berpesan pada Chaerul Saleh agar Hamka didatangkan ke hadapannya. Dia hendak meminta maaf. Setelah Hamka datang, Yamin pun meminta maaf, sambil memegang erat tangan Buya. Sambil keduanya berurai air mata, Buya memaafkan segala kesalahan Yamin itu.
Dalam wasiatnya, Yamin meminta agar Hamka membantu proses pemakamannya di Nagari Talawi Solok, kampungnya. Dia khawatir sebab orang kampung membencinya, dikarenakan Yamin sedari dulu anti (memusuhi) PRRI dan Masyumi.

Begitu pula ketika Soekarno hendak meninggal, dia meminta agar Buya yang mengimami shalat jenazah jika dia meninggal kelak. Wasiat inipun dipenuhi Buya dengan ikhlas karena Allah. Padahal, Hamka dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama 2 tahun lebih oleh rezim Soekarno. Bahkan di penjara yang berpindah-pindah itu Buya mengalami penyiksaan. Tapi, tidak ada dendam kesumat sedikitpun, benar-benar luas hatinya (lihat “Pribadi dan Martabat Buya Hamka”, Rusydi Hamka, 2017).




Sekarang kita berlanjut kepada figur Ustad Abdul Somad (lebih lanjut ditulis UAS). UAS adalah sosok ustad yang saat ini sedang memuncak pamornya, khususnya bagi netizen yang akrab dengan media sosial seperti youtube, facebook (fb) dan instagram.

UAS adalah seorang sarjana lulusan S-1 Universitas Al-Azhar dan S-2 Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko. Pria campuran Melayu Deli dan Riau, saat ini, tinggal di Pekanbaru dan berprofesi sebagai dosen PNS di UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Publik mungkin menilai, terlalu prematur untuk menyandingkan Hamka dan Abdul Somad. Tapi bagi saya, taklah berlebihan jika mengatakan Hamka dan UAS sama-sama menjadi panutan umat. Mengajarkan umat untuk menghargai perbedaan, toleran, ulama yang lurus, tegas dan merangkul semua kelompok Islam. Mereka mengajarkan kita semua nilai itu.

Di era teknologi informasi yang makin canggih, pemanfaatan media sosial internet menjadi keniscayaan. Puncak gelombang peradaban umat manusia dengan hadirnya abad informasi di abad 21, demikian yang ditulis futurolog Alvin Toffler (lihat “Future Shock”, Alvin Toffler, 1970).

Produksi, distribusi, penggunaan sampai pada perekayasaan konten media informasi adalah wajah peradaban manusia modern sekarang. Otomatis pemanfaatan media sosial sebagai sarana efektif dalam berdakwah adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan dakwah modern, di era informasi-komunikasi kepada masyarakat yang cakap juga dalam menggunakannya, yang disebut netizen.

Terkenalnya UAS satu tahun terakhir ini, adalah fenomena dakwah Islam yang sebenarnya bukan hal yang baru. Sederetan nama-nama ustad (dai/mubalig) kondang, yang sudah lama terkenal jauh sebelum UAS juga pernah terjadi.

Mulai dari yang senior seperti KH. Zainuddin MZ, KH. Anwar Sanusi dan Aa Gym sampai kepada Habib Rizieq, Habib Munzir Al Musawwa, Ustad Arifin Ilham, Ustad Yusuf Mansur, Ustad Jefri Al Bukhori, Ustad Wijayanto, Mamah Dedeh, Ustad Solmed sampai pada Ustad Maulana. Umumnya mereka dikenal melalui media tv nasional.

Beberapa nama dai di atas bisa dikategorikan sebagai “ustad seleb”, yaitu para mubalig yang dikenal publik berdakwah melalui media tv, sering muncul di tv, memiliki acara khusus di sebuah stasiun tv, bahkan ramai pemberitaan dirinya (keluarga) di acara-acara infotainment misalnya (lihat “Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online”, Greg Fealy dkk, 2012).

Uniknya kemunculan UAS sampai saat ini bukan karena infotainment, bukan dari media tv melainkan dari media sosial. Berbagai ceramah UAS bisa diakses oleh publik melalui youtube dan fb.

Pertanyaan kemudian adalah, “Apa penyebab sehingga dakwah-dakwah UAS selalu dinikmati, ditunggu-tunggu bahkan dihadiri oleh puluhan ribu jamaah, di setiap beliau berdakwah? Apa gerangan yang menjadi magnet penarik, keunikan, sehingga jamaah sampai ke angka 13 ribu viewers lebih menonton secara live streaming, di setiap ceramah UAS melalui fb?

Bahkan dalam ceramah-caramahnya, UAS sering menyampaikan pada jamaah bahwa jadwal “manggung” ceramah beliau sudah full sampai Desember 2018, baik di level lokal, nasional maupun internasional. Sebagai penceramah yang tak lahir dari produk infotainment dan entertainment tv, tentu  ini adalah fenomena yang menakjubkan dan unik.

Dikenal melalui youtube yang videonya dishare oleh jamaah. Bukan karena berita gosip infotainment media tentang dirinya, tetapi lebih karena luas dan dalamnya pemahaman keislaman UAS. Dikenal bukan karena skenario tv/rekayasa media mainstream, melainkann karena kehendak masyarakat Islam, yang selalu membagi video-video ceramahnya secara online.

UAS hadir pada saat yang tepat, di tengah ghiroh umat Islam yang haus ilmu agama, pengetahuan tentang syariat Islam. Ditambah menguatnya dakwah-dakwah dari sekelompok ustad yang mengidentifikasikan diri/kelompoknya dengan sebutan “Salafi”, yang terkadang isi ceramahnya cenderung memperlebar jurang khilafiyah di tengah keragaman umat dalam praktik ibadah (fiqh). Bahkan acap kali ustad-ustad tersebut dengan berani tanpa tedeng aling-aling, langsung melabeli bid’ah setiap praktik peribadatan muslim Indonesia, yang sudah mentradisi.

Tentu model dan gaya dakwah seperti di atas akan lebih mudah membuat umat terpecah-belah. Padahal sebagai muslim diwajibkan oleh Allah untuk menjaga persatuan dan berpegang teguh pada tali Allah, jangan bercerai-berai. Fenomena dakwah yang serupa ini juga berpotensi melahirkan konflik horizontal di internal Islam sendiri. UAS tampil sebagai antitesis model dan gaya dakwah yang serba menyalahkan dan membid’ahkan tersebut.

Tampilan dakwah yang berisi, luasnya wawasan perbandingan madzhab beliau (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali), penuh dengan guyonan cerdas ditambah logat Melayu yang khas. Menerangkan suatu perkara agama secara tegas, jelas, berdasar dalil dan selalu disisipi humor. Sehingga jamaah pun terhibur, tapi ilmunya tetap didapat.


UAS juga selalu memberikan pilihan kepada jamaah, dalam suatu perkara ibadah yang domainnya ilmu fiqh misalnya, seperti masalah qunut Subuh. UAS dengan terbuka dan gamblang memberikan pandangan tiap-tiap madzhab ulama akan hukum qunut Subuh itu. “Jangan berkelahi hanya masalah khilafiyah!”, demikian nasihat UAS yang acap kali disampaikan.

Urusan produktivitas kepenulisan, UAS sudah menulis buku-buku; “37 Masalah Populer” (2014), “99 Tanya Jawab Seputar Shalat” (2013), “33 Tanya Jawab Seputar Qurban” (2009), dan “30 Fatwa Seputar Ramadhan-terjemahan” (2011). Semua buku karya UAS tersebut bisa diakses secara gratis, baik di internet (ebook-pdf) maupun melalui aplikasi appstore/playstore. Sangat mengagumkan, UAS mempermudah umat belajar Islam secara praktis dan efektif.

Makanya taklah heran, banyak jamaah yang berujar jika UAS adalah Hamka zaman sekarang. Sebab, UAS mengedepankan toleransi, penghargaan terhadap perbedaan madzhab, menjunjung tinggi persatuan umat dan selalu menekankan agar umat Islam Indonesia melek politik dan berdikari dalam ekonomi. UAS selalu menyuarakan Islam dan politik tak bisa dipisahkan.

Mayoritas umat Islam di Indonesia secara ekonomi adalah kelas menengah ke bawah. Baginya perekonomian umat adalah mutlak tanggung jawab bersama umat Islam. Makanya UAS mengingatkan tentang pemberdayaan perekonomian umat dengan membangun dan mengembangkan sistem ekonomi syariah, hidupkan bank-bank syariah.

Momentum “persatuan umat” dengan aksi damai 411, 212 dan seterusnya, juga berpengaruh terhadap kesadaran umat akan politik. Ini berdampak terhadap popularitas UAS. Baginya syariat Islam hanya akan berjalan dengan baik, jika umat Islam sadar politik, cerdas dalam berpolitik. Satu-satunya jalan agar syariat Islam bisa diimplementasikan di Indonesia yang demokratis ini adalah melalui kekuasaan.

Makanya, bagi beliau pilihlah calon-calon pemimpin, kepala daerah dan legisltaif yang tidak alergi terhadap aspirasi umat. 3 (tiga) poin utama sebagai fokus politik Islam (khususnya di daerah melalui Peraturan Daerah) baginya adalah: 1) integrasikan mata pelajaran bercirikan Islam di sekolah umum (ilmu fiqh, tarikh, aqidah dan lainnya), 2) kepala daerah membuat aturan tentang zakat di daerahnya dan 3) kepala daerah diminta membuat Perda-perda yang bernuansa Islam.

Baginya semua cita-cita politik Islam tersebut, hanya bisa dicapai jika umat Islam yang berkuasa. Tapi jalan untuk mencapainya harus dengan cara-cara demokratis dan konstitusional sesuai hukum, tidak menggunakan kekerasan katanya.

Jadi taklah berlebihan, jika respons umat Islam akan kehadiran dakwah UAS saat ini sangat antusias. Hamka muda telah lahir, walaupun keduanya memiliki perbedaan. Hamka pernah menjadi pengurus Muhammadiyah, sedangkan Ustad Abdul Somad pernah menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (Lembaga Bahtsul Masail) PWNU Riau.

UAS bergaul dengan kelompok Islam manapun seperti Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Tarbiyah, Perti, Persis, Salafi bahkan FPI, MMI dan HTI yang sudah dibubarkan pemerintah saat ini. UAS juga bercerita, pernah menjadi pengurus masjid Muhammadiyah di Pekanbaru selama 2 tahun. Padahal secara madzhab fiqh, dirinya berbeda dari saudara-saudara di Muhammadiyah. Tiap kali diminta menjadi imam di masjid Muhammadiyah tersebut, dengan rendah hati UAS selalu menolaknya. Dia memilih untuk menjadi makmum saja, karena menghormati jamaah Muhammadiyah.

UAS pun sering mengutip dan menceritakan kisah heroisme dan keulamaan Hamka dalam ceramahnya. UAS mengatakan, dia mengidolakan sosok Hamka, seorang ulama pejuang. Banyak kemiripan keduanya. Sama-sama memperoleh gelar dari Al-Azhar Kairo, dan produktif menulis.

Memiliki kemiripan dalam berceramah, bergaya khas, logat Melayu yang kental, suka berpepatah-petitih Melayu (Minangkabau), suara yang parau dan ceramah yang selalui diikuti oleh tanya jawab memakai media kertas yang tumpukannya melebihi tebalnya skripsi. Jamaahnya berduyun-duyun, selalu memadati masjid saat mendengar dakwahnya. Itulah beberapa kemiripan Buya dan UAS.

Terpenting adalah Hamka dan UAS sama-sama mengajarkan kita umat Islam, tentang indahnya perbedaan, pentingnya menjaga persatuan umat, kesadaran politik bernegara dan paling utama adalah tidak menonjolkan khilafiyah.
Persatuan umat yang mesti dikedepankan. Hamka dan Ustad Abdul Somad membuktikannya dengan tindakan. Ini mendesak dilakukan, karena jika umat terus berkonflik karena urusan khilafiyah, maka persatuan umat Islam hanya akan tinggal utopia belaka.

Semoga Allah senantiasa meridhoi almarhum Buya Hamka dan memberikan kemudahan dalam berdakwah bagi Ustad Abdul Somad, Sang Hamka Muda...!

Oleh: Satriwan Salim  Pengajar Labschool Jakarta-UNJ/Peneliti PUSPOL Indonesia, dalam tulisan berjudul "Buya Hamka Dulu, Ustaz Abdul Somad Sekarang" di situs Republika.co.id

10 November 2017

Momen Haru Saat Ayah Korban Maafkan dan Peluk Pembunuh Anaknya

Tipsiana.com -  Ayah dari seorang supir Muslim pengantar pizza yang jadi korban pembunuhan, mengampuni dan memeluk pelaku yang dijatuhi hukuman penjara karena berperan dalam kematian anaknya.

Pada persidangan yang dilaksanakan di pengadilan Lexington, Kentucky, AS pada Selasa 7 November 2017 kemarin, Ayah korban, Dr. Abdul Munim Sombat Jitmoud memeluk terpidana, Trey Alexander Relford, yang menangis menyesali perbuatannya.


Sang ayah mengatakan, ia memaafkan Trey karena mengikuti ajaran Islam. "Islam mengajarkan bahwa Tuhan takkan memaafkan seseorang sebelum orang tersebut mendapatkan maaf dari orang yang disakitinya," kata Abdul Munim di depan sidang. "Pintu kesempatan untuk mendapat pengampunan dari Tuhan telah terbuka... Jadi, dapatkanlah pengapunanNya. Kamu telah memiliki babak baru untuk bisa hidup lebih baik."

Pada malam bulan April 2015, Salahuddin Jitmoud sedang mengantarkan pesanan pizza terakhir sebagai supir Pizza Hut. Naas, ia dirampok dan ditikam hingga tewas di sebuah kompleks apartemen di Lexington, Kentucky. Tubuhnya ditemukan terkapar di pelataran kompleks.

Tiga orang ditahan, tapi sidang hanya memvonis Relford. Ia terbukti sebagai perencana perampokan walau menolak membunuh Salahuddin.

Relford akhirnya divonis 31 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah atas keterlibatan dalam pembunuhan, perampokan, dan bukti yang menunjukkan bahwa ialah yang menikam Salahuddin.


Ayah Salahuddin mengatakan bahwa ia telah memaafkan Relford.

"Anakku, keponakanku, aku memaafkanmu atas nama Salahuddin dan ibundanya."

"Saya tidak menyalahkanmu atas kejahatan yang telah kau lakukan, saya tidak marah kepadamu telah menjadi bagian dari yang menyakiti putra saya." 

"Saya marah pada Iblis, saya salahkan Iblis, yang menyesatkan kamu dan membuat kamu melakukan kejahatan mengerikan ini." 

"Saya sungguh merasa iba pada orangtua kamu, mereka membesarkan kamu dan ingin kamu menjadi sukses. Kesuksesan kamu adalah kesuksesan mereka, kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan mereka." 

"Sekarang mereka harus menangis akibat kejahatan mengerikan (pembunuhan) yang telah kamu lakukan."

"Pemaafan dan pengampunan adalah anugerah terbesar dalam Islam. Saya harus mengeluarkan semua perasaan saya untuk memaafkan orang yang telah menjahati keluarga saya."

Hakim tampak terisak saat menutup sidang, sementara dengan menangis si pembunuh meminta maaf atas perbuatannya. Diiringi tangis ibu pelaku, Relford kemudian dipeluk erat oleh Abdul Munim. Sang ayah korban lalu berbisik di telinga Relford, "Setelah nanti keluar dari penjara, berbuat baiklah".

Sumber: CNN